PEMBENTUKAN
KARAKTER SISWA MELALUI TEKNIK REINFORCEMENT
OLEH:
ALI HARSOJO, S.Pd.
Guru SDN Aenganyar I Giligenting
A.
Latar Belakang
Secara umum
dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakan dan dilahirkan secara
ilmiah oleh para pakar dibidangnya adalah berkat adanya pendidikan. Karena
dengan pendidikan (melalui proses pembelajaran dan latihan) meraka dapat
memahami proses, cara, tehnik dan prosedur dalam menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat sebagai terapan dari ilmu yang telah dipelajarinya melalui kegiatan
belajar mengajar pada lembaga pendidikan tertentu
sampai akhirnya dapat mengusai ilmu yang dipelajari dan memiliki keterampilan
yang memadai.
Dalam
konteks pendidikan, kegiatan belajar mengajar merupakan suatu sistem. Kegiatan belajar
mengajar terdiri dari berbagai komponen yang saling berinteraksi dan saling
mempengaruhi. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua
situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses
yang diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman
(Rusman, 2010:5).
Kegiatan
interaksi dalam proses belajar mengajar meliputi
beberapa komponen yang terlibat, diantaranya pendidik atau guru
bertindak mendidik peserta didik, peserta didik dan
lingkungan belajar. Tindak
mendidik tersebut tertuju dan mengarah pada perkembangan peserta didik menjadi
mandiri yang memiliki segenap pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang memadai,
yang bertujuan agar peserta didik menjadi mandiri dan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya melalui berbagai pengalaman
yang telah dimiliki.
Penggunaan reinforcement dalam proses belajar
mengajar di kelas dapat meningkatkan
perhatian siswa; Reinforcement dapat membangkitkan dan memelihara motivasi
siswa; Reinforcement dapat memudahkan siswa belajar; Reinforcement dapat
mengontrol dan memodifikasi tingkah laku siswa serta mendorong munculnya
perilaku yang positif; Reinforcement dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada
diri siswa; Reinforcement dapat memelihara iklim kelas yang kondusif (Sukardi,
1987).
Pemberian
reinforcement oleh guru adalah salah satu faktor yang paling penting dalam
kesuksesan anak didiknya yang disertai dengan kehangatan dan keantusiasan.
Dimana dapat di tunjukkan dengan berbagai cara, misalnya dengan muka atau wajah
berseri-seri disertai senyuman, suara yang riang penuh perhatian atau sikap
yang memberi kesan bahwa penguatan yang diberikan memang sunguh-sunguh.
Sebaliknya penguatan yang diberikan dengan suara lesu, sikap acuh tak acuh,
wajah yang murung, tidak akan ada dampak positifnya bagi siswa, bahkan hanya
akan menimbulkan kesan negatif bagi siswa.
Reinforcement
yang diberikan guru bermakna bagi siswa. Artinya siswa memang merasa terdorong
untuk meningkatkan penampilannya, misalnya jika guru mengatakan “model yang
kamu rancang sangat-sangat menarik” karena model yang dibuat siswa tersebut
memang benar-benar menarik hingga siswa benar-benar merasa bahwa ia memang
patut mendapat pujian. Dengan perkataan lain, pujian itu bermakna bagi dia,
sehingga mendorong dia untuk bekerja lebih giat dalam menciptakan model (Agus,
1986)
Reinforcement (penguatan) adalah respon yang
diberikan terhadap perilaku atau
perbuatan yang dianggap baik yang membuat meningkatnya perilaku atau perbuatan
yang di anggap baik (Hartono, 1997). Menurut Chahyana (1988), penguatan sering
muncul dalam kehidupan sehari-hari, meskipun banyak yang tidak menyadari bahwa
yang dimunculkan tersebut adalah penguatan. Penguatan dapat membuat orang yang menerima penguatan
tersebut merasa senang dan akan meningkatkan perbuatan yang diberi penguatan.
Dalam kegiatan pembelajaran, penguatan mempunyai peran penting dari dalam
meningkatkan keefektifan kegiatan pembelajaran. Pujian atau respon positif guru
terhadap perilaku atau perbuatan siswa yang positif akan membuat siswa merasa
senang karena dianggap mempunyai kemampuan.
Namun jika
model yang dibuat sangat kasar dan tidak sesuai dengan tugas yang di berikan,
sebaiknya guru jangan memuji model tersebut, tetapi hanya mencoba menyadarkan
siswa tersebut akan hasil karyanya, misalnya dengan mengatakan saya tahu kamu
bekerja keras menciptakan model ini, kalau bagian-bagian ini kamu perhalus
lagi, modelmu akan menjadi lebih baik.
Respon
negatif seperti kata-kata kasar, gertakan, hukuman, atau ejekan dari guru
merupakan senjata ampuh untuk menghancurkan iklim kelassss yang kondusif maupun
kepribadian siswa sendiri. Oleh karena itu, guru mengahargai segala jenis
respon negatif tersebut. Jika siswa memberikan jawaban atau menunjukkan
penampilan yang tidak memuaskan, guru menahan diri dari keinginan mencela atau
mengejek jawaban atau penampilan siswa.
Apabila
jawaban siswa keliru guru mengalihkan pertanyaan tersebut kepada siswa lain.
Dengan cara tersebut siswa menyadari bahwa jawabannya kurang sempurna. Jika
siswa menunjukkan penampilan yang tidak sempurna, guru dapat meminta siswa yang
dianggap mampu untuk mendemontrasikan penampilan tersebut, kemudian siswa
pertama diminta memperbaiki penampilannya. Dengan cara-cara tersebut, guru akan
tetap memberikan balikan kepada siswa serta sekaligus terhindar dari penggunaan
respon negatif.
Penerapan
reinforcement sebagaimana diungkap Hermiyanto (2004) pada setiap proses belajar
mengajar dapat dilakukan dengan berbagai tehnik berikut ini :
1. Reinforcement Kepada Pribadi Tertentu
Pada tehink
ini hal yang perlu dilakukan guru adalah dengan membuat nyebut nama seorang
anak sambil memandangnya. Misalnya : Bila siswa dapat menjawab pertanyaan guru
dengan baik, maka guru memandang Tria
kemudian mengatakan “Tria jawabanmu tepat sekali”.
2. Reinforcement Kepada Kelompok Siswa
Apabila ada
kelompok kerja siswa dapat melakukan tugas dengan baik maka guru dapat
memberikan reinforcement kepada seluruh anggota kelompok tersebut. Misalnya :
Guru memberikan penghargaan kepada kelompok siswa. Dengan demikian siswa yang
tergabung dalam kelompok tersebut merasa senang dan ingin mengulangi lagi, atau
bahkan siswa tersebut akan termotivasi untuk belajar berkelompok diluar jam
pelajaran dikelas. Dan ini sangat dikerapkan sehingga prestasi belajar siswa
meningkat.
3. Berikan Reinforcement dengan Segera
Agar dampak
positif yang diharapkan tidak menurun bahkan hilang, reinforcement haruslah
diberikan segera setelah siswa menunjukkan respon yang diharapkan. Dengan
perkataan lain, tidak ada waktu tunggu antara respon yang ditunjukkan dengan
penguatan yang diberikan.
4. Penggunaan Reinforcement yang Bervariasi
Pemberian
reinforcement haruslah dilakukan dengan variasi yang kaya, hingga dampaknya
cukup tinggi bagi siswa yang menerimanya. Penguatan verbal dengan kata-kata
yang sama, misalnya : Bagus,bagus, bagus akan kehilangan makna, hingga tidak
berarti lagi bagi siswa.
Demikian
juga reinforcement dalam bentuk mimik dan gerakan badan yang diberikan secara
terus menerus akan membosankan dan tidak berdampak apa-apa, bahkan mungkin akan
menimbulkan respon negatif, misalnya : Jadi bahan tertawaan. Oleh karena itu,
guru hendaknya berusaha mencari variasi dalam memberi reinforcement.
Jenis-jenis
Reinforcement
Menurut
Sukardi ( 1987), reinforcement pada dasarnya dapat diberikan dalam dua jenis yaitu
reinforcement verbal dan reinforcement non verbal. Komponen-komponen
keterampilan memberikan reinforcement yang harus dikuasai oleh guru berkaitan
dengan keterampilan menggunakan kedua jenis reinforcement tersebut. Secara
rinci, komponen-komponen tersebut sebagai berikut :
1. Reinforcement Verbal
Reinforcement
verbal paling mudah digunakan dalam kegiatan pembelajaran dalam bentuk
komentar, pujian, dukungan, pengakuan, atau dorongan. Yang diharapkan dapat
meningkatkan tingkah laku dan penampilan siswa. Komentar, pujian dan sebagainya
tersebut dapat diberikan dalam bentuk kata-kata dan kalimat.
2. Reinforcement Non-Verbal
Reinforcement
non verbal dapat dinyatakan guru dengan gerakan senyuman, mendekat, sentuhan
atau bentuk alin yang bukan berupa kat-kata atau kalimat. Reinforcement non
verbal ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam, yaitu :
a. Reinforcement berupa mimik dan gerakan
badan
Mimik dan
gerakan badan seperti senyuman, anggukan, tepukan tangan atau acungan jempol /
ibu jari dapat mengkomunikasikan kepuasan guru terhadap respon siswa yang tentu
saja merupakan reinforcement yang sangat berarti bagi siswa. Mimik dengan
gerakan badan dapat dipakai bersama-sama dengan penguatan verbal. Misalnya
ketika mengucapkan kata “bagus” guru tersenyum sambil mengacungkan ibu jari,
atau ketika menganggukkan kepala, guru mengucapkan kata-kata “benar”.
b. Reinforcement dengan cara mendekati
Gerak
mendekati dapat ditunjukkan guru dengan cara melangkah mendekati siswa, berdiri
disamping siswa atau kelompok siswa. Bahkan dalam situasi tertentu duduk
bersama siswa atau kelompok siswa. Tujuan gerak mendekati adalah memberikan
perhatian, menunjukkan rasa senang akan pekerjaan siswa, bahkan juga memberi
rasa aman kepada siswa.
Bentuk
reinforcement ini biasanya dipakai bersama-sama dengan bentuk reinforcement
verbal, artinya ketika guru mendekati siswa, guru mengucapkan kata-kata
tertentu sebagai reinforcement. Kombinasi ini memperkuat efek reinforcement
namun harus dibatasi pemakaiannya sehingga efeknya tidak menurun.
c. Reinforcement dengan cara memberikan
sentuhan
Sentuhan
seperti menepuk-nepuk bahu atau pundak siswa, menjabat tangan siswa atau
mengangkat tangan siswa yang menang, jika dilakukan dengan tepat dapat
merupakan reinforcement yang efektif bagi siswa. Namun, jenis reinforcement ini
harus dipergunakan dengan penuh hati-hati dengan memperhatikan umur, jenis
kelamin, serta latar belakang siswa. Misalnya menepuk bahu siswa atau mengelus
rambutnya mungkin hanya sesuai untuk siswa SD sedangkan bagi siswa yang lebih
besar dianggap berlebihan. Oleh karena itu, guru harus mempertimbangkan
faktor-faktor yang disebutkan tadi.
d. Reinforcement dengan memberikan tugas yang
menyenangkan
Guru
memberi kesempatan kepada siswa yang telah menyelesaikan tugas dapat diminta
untuk membantu teman-temannya menyelesaikan pekerjaan atau yang dikenal dengan
tuton sebaya. Kegiatan ini dapat menimbulkan kepuasan hati siswa, karena
kemampuan siswa tersebut merasa dihargai.
e. Reinforcement berupa simbol atau benda
Dalam
situasi tertentu, reinforcement dapat diberikan dalam bentuk simbol atau benda
tertentu. Simbol dapat berupa tanda cek (√), komentar tertulis atau paraf guru
pada buku siswa, berbagai tanda dengan warna tertentu misalnya hijau, kuning,
ungu, atau merah. Sedangkan benda yang digunakan sebagai reinforcement adalah
benda-benda kecil yang harganya tidak terlalu mahal tetapi berarti bagi siswa.
Misalnya kartu bergambar, pencil, atau buku tulis, peniti atau benda-benda
kecil lainnya.
Pemberian
penguatan dengan menggunakan simbol atau tanda hendaknya tidak terlalu sering
dilakukan agar “makna” nya tidak hilang atau agar siswa tidak memandangnya
sebagai satu target dari penampilannya. Pemberian komentar tertulis pada
pekerjaan siswa, lebih-lebih yang menunjukkan memperbaiki atau meningkatkan
penampilannya sebaiknya diberikan secara teratur.
f. Reinfocement tak penuh (patrial)
Reinforcement ini diberikan kepada siswa yang telah memberikan hasil pekerjaan
atau tugas, tetapi masih sedikit kesalahan. Menghadapi kasus ini, guru
diharapkan tidak langsung menyalahkan siswa tetapi sebaiknya diberikan
penguatan tak penuh.
Misalnya dengan berkata : Jawabanmu sudah
baik, namun bukan itu yang bapak maksudkan. Coba sempurnakan lagi jawabanmu,
atau dengan kalimat lain yang sejenis. Mendapat penguatan seperti diatas siswa
akan mencoba mencari kekurangannya, dan mendorong untuk, mengerjakan serta
menemukan jawaban yang sempurna.
Manfaat Mengenal Reinforcement
Dengan reinforcement dapat berbuat secara meyakinkan dan mandiri;
memiliki rasa tanggung jawab; bangga terhadap tugas-tugas yang dipercayakannya;
menghilangkan frustasi;senang mencoba tugas-tugas dan tantangan baru; mengatasi
perasaan negatif dan positif; mengetahui kelemahan dan kekurangan dirinya serta
mampu menawarkan bantuan pada orang lain.
Menurut Franken (1994), ada sejumlah
besar penelitian yang menunjukkan bahwa penguatan adalah basis bagi semua motif perilaku. Konsep
diri mengakibatkan munculnya diri, dan yang menciptakan motivasi perilaku.
Dengan konsep diri yang tepat memberi kemungkinan dalam mengembangkan visi; dan merupakan salah satu isu utama yang ada pada kalangan
pelajar sekarang dalam meraih masa depannya
(Huitt, 2004).
Franken (1994) menegaskan, bahwa
orang yang memiliki rasa penghargaan diri dengan penguatan secara baik dapat memaksimalkan hasil kerjanya
karena mereka tahu apa yang dapat dan tidak dapat mereka lakukan. Konsep diri
dalam bentuk memberikan penghargaan pada diri sendiri melalui proses
pengambilan tindakan dan kemudian merefleksikan pada apa yang telah dilakukan
dan apa yang telah orang katakan mengenai apa yang telah dilakukan.
Merefleksikan pada apa yang telah dilakukan dan dapat melakukan perbandingan
dengan dugaan atau harapan serta harapan orang lain dan dengan karakteristik
serta prestasi orang lain merupakan prasyarat pemahaman terhadap diri sendiri
(Brigham, 1986; James, 1890).
Memberi penguatan sama dengan Kesuksesan/Keinginan. Meningkatnya penghargaan terhadap
diri sendiri akan membawa hasil jika kesuksesan diperbarui secara relatif
menurut keinginan. Bandura (1997) menyatakan bahwa kemanjuran diri seseorang
adalah salah satu prediksi terbaik tentang prestasi yang sukses. la juga
menyatakan bahwa pengalaman keunggulan seseorang yang berhubungan dengan
kesuksesan adalah pengaruh utama pada kemanjuran diri seseorang. Karena kemanjuran
diri sama‑sama dibuat atau dibentuk oleh refleksi kesadaran seseorang, maka
akan tampak bahwa para pendidik dan orangtua seharusnya memberikan pengalaman
yang dapat dikuasai oleh para murid, daripada berusaha langsung menaikkan rasa
percaya diri dengan cara yang lainnya.
Memberi penguatan adalah penting karena dapat membantu untuk
menumbuhkan rasa yakin dan bangga terhadap dirinya sendiri dan apa yang dapat
dilakukan. Ia memberimu keberanian untuk mencoba hal baru dan kekuatan untuk
percaya pada dirimu sendiri. la membuatmu menghargai dirimu sendiri, bahkan
jika kamu melakukan kesalahan sekalipun. Dan jika kamu menghargai dirimu
sendiri, maka orang dewasa dan anak‑anak yang lain biasanya akan menghargaaimu
juga.
Dengan penguatan merupakan tiket untuk
membuat pilihan yang bagus mengenai pikiran seseorang. Jika dianggap penting
dan memiliki penhargaan diri yang baik, maka
cukup pintar untuk membuat keputusan sendiri. Terbangun dalam menghargai
keamananmu, perasaanmu, kesehatanmu – keseluruhan hal tentang dirimu sendiri.
Di lain pihak, tingginya keyakinan
diri sendiri terdiri atas pikiran dan perasaan positif yang dimiliki tentang
dirimu sendiri sebagai dampak lanjutan adanya penguatan. Lagipula, hal tersebut
mempengaruhi pikiran, tindakan, dan perasaanmu tentang orang lain, seperti
halnya seberapa sukseskah kamu dalam hidup. Perolehan keyakinan diri yang
tinggi bisa membuatmu menjadi orang seperti yang diinginkan, lebih bisa
memahami dan menikmati perbedaan orang lain, dan lebih menawarkan dirimu sendiri
kepada lingkungannya.
1.
Pembentukan Karakter pada Peserta Didik
Sebagai
upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan nasional, Kemendiknas
sebenarnya telah mengembangkan grand design pendidikan karakater untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan
pendidikan. Grand design menjadi rujukan konsteptual dan operasional
pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang
pendidikan. Menurut Masnur Muslich (2011:85) konfigurasi karakter dalam konteks
totalitas proses psikologis dan sosio-kultural tersebut dikelompokkan dalam:
Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and Kinestetic
development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan
implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu kepada grand
design tersebut.
Berikut
adalah alur pembentukan pendidikan karakater pada peserta didik dari dari
Kemendiknas.
Gambar 1.1: Alur Pendidikan Karakter pada Peserta Didik
Dari bagan di atas dapat dijelaskan
bahwa perilaku karakter dibentuk dari nilai-nilai luhur yang terdiri dari tiga
unusur yaitu: a) unsur agama, pancasila, UUD 1945, SISDIKNAS UU No. 20 tahun
2003, b) unsur teori pendidikan, psikologi, nilai, sosial, budaya dan yang
terakhir adalah c) pengalaman terbaik (best practice) dan praktik nyata.
Untuk selanjutnya, nilai-nilai luhur tersebut diimplementasikan dalam satuan
pendidikan, dimana satuan pendidikan tersebut tidak hanya bekerja sendirian akan
tetapi juga berkolaborasi atau ada intervensi dari pihak keluarga peserta didik
dan masyarakat tempat mereka tinggal. Di
sampin itu pula, dalam proses pengimlentasian tersebut, perlu juga didukung
oleh kebijakan, pedoman, sumber daya, lingkungan, sarana dan prasarana,
kebersamaan, dan komitmen pemangku kepentingan. Sehingga out-put nya adalah
peserta didik yang mempunyai perilaku berkarakter.
2.
Pengembangan Pendidikan
Karakter
Dalam
proses pendidikan karakter,
secara aktif peserta
didik mengembangkan potensi dirinya,
melakukan proses internalisasi, dan
penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul dengan
masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih
sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Badan
Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum (2010:15)
menyebutkan bahwa Perencanaan
dan pelaksanaan pendidikan karakter bangsa dilakukan oleh kepala sekolah,
guru, tenaga kependidikan
(konselor) secara bersama-sama
sebagai suatu komunitas pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum
melalui hal-hal berikut ini:
a.
Program Pengembangan Diri
Dalam program
pengembangan diri, perencanaan
dan pelaksanaan pendidikan karakter dilakukan melalui
pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah, yaitu melalui hal-hal
berikut:
1)
Kegiatan Rutin Sekolah
Kegiatan rutin merupakan kegiatan
yang dilakukan peserta didik
secara terus menerus dan
konsisten setiap saat. Contoh: kegiatan ini adalah upacara setiap hari Senin
dan hari besar kenegaraan, pemeriksaan
kebersihan badan (kuku,
telinga, rambut, dan lain-lain) setiap
hari Senin, beribadah
bersama atau shalat
bersama setiap dhuhur (bagi yang
beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran, mengucap salam bila
bertemu guru, tenaga kependidikan, atau teman.
2) Kegiatan Spontan
Kegiatan spontan
yaitu kegiatan yang
dilakukan secara spontan
pada saat itu juga. Kegiatan ini dilakukan biasanya pada saat guru
dan tenaga kependidikan yang lain mengetahui adanya
perbuatan yang kurang
baik dari peserta
didik yang harus dikoreksi
pada saat itu
juga. Apabila guru
mengetahui adanya perilaku dan
sikap yang kurang
baik maka pada
saat itu juga
guru harus melakukan koreksi
sehingga peserta didik tidak akan melakukan tindakan yang tidak baik itu. Contoh: kegiatan
itu: membuang sampah tidak pada
tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, memalak, berlaku tidak
sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh.
Kegiatan spontan
berlaku untuk perilaku
dan sikap peserta
didik yang tidak baik
dan yang baik
sehingga perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai
tinggi, menolong orang lain,
memperoleh prestasi dalam
olah raga atau
kesenian, berani menentang atau mengkoreksi perilaku teman yang tidak
terpuji.
3) Keteladanan
Keteladanan
adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam memberikan
contoh terhadap tindakan-tindakan yang
baik sehingga diharapkan menjadi
panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga
kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan
bersikap sesuai dengan nilai-nilai
pendidikan karakter maka guru dan
tenaga kependidikan yang
lain adalah orang
yang pertama dan utama memberikan contoh
berperilaku dan bersikap
sesuai dengan nilai-nilai
itu. Misalnya, berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras,
bertutur kata sopan, kasih
sayang, perhatian terhadap
peserta didik, jujur,
menjaga kebersihan.
4) Pengkondisian
Untuk mendukung
keterlaksanaan pendidikan budaya
dan karakter bangsa maka
sekolah harus dikondisikan
sebagai pendukung kegiatan
itu. Sekolah harus mencerminkan
kehidupan nilai-nilai budaya
dan karakter bangsa
yang diinginkan. Misalnya,
toilet yang selalu
bersih, bak sampah
ada di berbagai tempat dan selalu dibersihkan,
sekolah terlihat rapi dan alat belajar ditempatkan teratur.
b. Pengintegrasian dalam Mata Pelajaran
Pengembangan
nilai-nilai pendidikan karakater diintegrasikan dalam setiap
pokok bahasan dari
setiap mata pelajaran.
Nilai-nilai tersebut
dicantumkan dalam silabus
dan RPP. Pengembangan
nilai-nilai itu dalam
silabus ditempuh melalui cara-cara berikut ini:
1)
Mengkaji
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar Isi (SI) untuk
menentukan apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang tercantum itu
sudah tercakup di dalamnya;
2)
Menggunakan tabel
nilai yang memperlihatkan keterkaitan antara SK
dan KD dengan nilai dan indikator
untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan;
3)
Mencantumkankan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam
tabel 1 itu ke dalam silabus;
4)
Mencantumkan
nilai-nilai yang sudah tertera dalam silabus ke dalam RPP;
5)
Mengembangkan proses
pembelajaran peserta didik
secar aktif yang
memungkinkan peserta didik
memiliki kesempatan melakukan
internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai; dan
6)
Memberikan bantuan
kepada peserta didik,
baik yang mengalami
kesulitan untuk menginternalisasi nilai maupun untuk menunjukkannya
dalam perilaku.
Senada
dengan hal yang ada diatas, M. Furqon Hidayatullah
(2010:56) juga memberikan
langkah-langkah dalam pengintegrasian nilai-nilai pendidikan karakter dalam mata pelajaran. Langkah-langkah
pengintegrasian pendidikan karakter ke
dalam mata pelajaran dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1)
Mendeskripsikan
kompetensi dasar tiap mata pelajaran
2)
Mengeidentifikasi
aspek-aspek atau materi-materi pendidikan karakter yang akan diintegrasikan ke
dalam mata pelajaran
3)
Mengintegrasikan
butir-butir pendidikan karakter ke dalam kompetensi dasar (materi pembelajaran)
yang dipandanng relevan atau ada kaitannya
4)
Melaksanakan
pembelajaran
5)
Menetukan
metode pembelajaran
6)
Menetukan
evaluasi pembelajaran; dan
7)
Menetukan
sumber belajar
Berikut
adalah contoh format pengintegrasian pendidikan karakter ke Budaya
Sekolah
Budaya sekolah
cakupannya sangat luas,
umumnya mencakup ritual,
harapan, hubungan,
demografi, kegiatan kurikuler,
kegiatan ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan,
kebijakan maupun interaksi
sosialbantarkomponen di sekolah.
Budaya sekolah adalah
suasana kehidupan sekolah
tempat peserta didik berinteraksi dengan
sesamanya, guru dengan
guru, konselor dengan
sesamanya, pegawai
administrasi dengan sesamanya,
dan antaranggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi internal
kelompok dan antarkelompok
terikat oleh berbagai aturan, norma,
moral serta etika
bersama yang berlaku
di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan,
keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian
lingkungan, rasa kebangsaan,
dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan
dalam budaya sekolah.
3.
Pendidikan Karakter
Berwawasan Sosiokultural
Sebagaimana
diamanatkan dalam UU No. 20 /2003 Bab II Pasal 3 telah memungkinkan
diajarkannya pendidikan karakter pada tingkat SD sebagai materi pelajaran
muatan lokal. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan UU di atas
jelas bahwa, selain bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, fungsi
pendidikan nasional kita susungguhnya juga diarahkan untuk membentuk watak atau
karakter bangsa Indonesia, sesuai dengan potensi keunggulan budaya lokal bangsa
yang beradab dan bermartabat luhur. Dapat diartikan disini, bahwa siswa perlu
mengakomodasi segala potensi, termasuk kekayaan sosial-budaya atau
sosiokultural yang ada. Untuk ini diperlukan pengembangan pembelaran siswa yang
memberi peluang bagi guru untuk mengembangkan muatan karakter yang berbasis
social-budaya yang terjadi di sekitar proses pembelajaran itu berlangsung, yaitu
pembelajaran yang akomodatif yang ditinjau dari sudut pandang keunggulan lokal
dan berwawasan sosiokultural.
Gambar 3.1: A Humanistic View of Education (Dubin, 1986: 68)
Larson dan
Smalley (1972: 39) menggambarkan sociocultural sebagai sebuah blue
print yang menuntun perilaku manusia dalam sebuah masyarakat dan ditetaskan
dalam kehidupan keluarga. Sociocultural mengatur tingkah laku seseorang
dalam kelompok, membuat seseorang sensitif terhadap status, dan membantunya
mengetahui apa yang diharapkan orang lain terhadap dirinya dan apa yang akan
terjadi jika tidak memenuhi harapan-harapan mereka. Sociocultural
membantu seseorang untuk mengetahui seberapa jauh dirinya dapat berperan
sebagai individu dan apa tanggung jawab dirinya terhadap kelompok.
Sosiokultural (sociocultural) juga didefinisikan sebagai
gagasan-gagasan, kebiasaan, keterampilan, seni, dan alat yang memberi ciri pada
sekelompok orang tertentu pada waktu tertentu. Sosiokultural adalah sebuah
sistem dari pola-pola terpadu yang mengatur perilaku manusia (Condon 1973: 4). Kenyataan bahwa
tak ada masyarakat yang ada tanpa sebuah sosial-budaya menggambarkan perlunya
sosiokultural untuk memenuhi kebutuhan psikologi dan biologis tertentu pada
manusia.
Sosiokultural menentukan, bagi
masing-masing orang, sebuah konteks tingkah laku afektif dan kognitif, sebuah template untuk kehidupan sosial dan
perseorangan. Namun, seseorang cenderung merasakan kenyataan dalam konteks
social-budayanya sendiri. Dengan demikian jelas bahwa sosio-kultural, sebagai
kondisi manifestasi perilaku yang mendarah daging dan mode dari persepsi,
menjadi sangat penting dalam sebuah entitas atau kelompok tertentu. Karakter
adalah bagaian dari sosial budaya, dan social budaya adalah bagian dari sebuah
karakter. Kedua hal ini berjalin dengan erat sehingga seseorang tidak dapat
memisahkan keduanya tanpa kehilangan arti dari keduanya tersebut. Untuk itu, di
dalam pendidikan karakter seseorang harus menyertakan pula kondisi social
budaya yang dimiliki. Robinson-Stuart dan Nocon (1996) mengumpulkan dan
menyatukan beberapa perspektif pada pembelajaran karakter berwawasan sosial
budaya yang dilihat dalam beberapa dekade terakhir ini. Mereka mengamati bahwa
gagasan pembelajaran karakter dengan sedikit atau tanpa pengertian yang
mendalam mengenai norma-norma dan pola-pola sosial-budaya dari beberapa
komunitas. Perspektif yang lain adalah dugaan bahwa suatu pendidikan karakter
dapat menghadirkan kodisi social budaya tertentu sebagai sebuah “facta”.
Robinson-Stuart dan Nocon mengusulkan bahwa para pelajar bahasa menjalani
pembelajaran social budaya sebagai sebuah "proses, yaitu, sebagai cara
merasakan, menafsirkan, menafsirkan perasaan, berada di dunia, dan berhubungan
dengan di mana seseorang berada dan dengan siapa seseorang bertemu" (dalam
Brown 2000). Pembelajaran karakter berwawasan sosial budaya adalah suatu proses
pembagian makna di antara perwakilan-perwakilan kehidupan sosial budaya
tertentu. Hal ini bersifat pengalaman, sebuah proses pembelajaran karakter yang
terus-menerus bertahun-tahun, dan menembus secara mendalam pada pola-pola
pikir, perasaan dan tindakan seseorang.
Sosial budaya sebenarnya adalah
bagian integral suatu interaksi antara budaya dan pemikiran. Pola budaya
kognitif dan kebebasan terkadang diisyaratkan secara ekplisit dalam tindakan,
contoh gaya prilaku akan menjadi faktor penentu budaya tertentu. Wilhem Von
Humdalk (1767-1835) yang mengklaim bahwa social budaya membentuk karakter
seseorang. Pendekatan yang sebenarnya menggambarkan sebagian apa yang dipresentasikan
pada buku, isu, penemuan, kesimpulan, dan prinsip pembelajaran dan pengajaran
karakter, prinsipnya adalah: a) Motivasi dari dalam merupakan dorongan utama
untuk belajar, b) percaya diri merupakan awal yang penting untuk keberhasilan,
c) karakter dan budaya merupakan suatu jalinan.
Kajian tentang pendidikan karakter
dalam hal ini ditujukan pada subtansi kebermaknaan atau dengan kata lain
mengkaji pendidikan karakter dari sudut pandang fungsi sebagai hakikat.
Berdasarkan pendekatan fungsional ini, peranan atau kebermaknaan pendidikan
karakter dalam konteks sosial dan konteks budaya sangat penting dan sangat erat
keberadaanya. Untuk itu, materi ajar yang digunakan dalam proses pembelajaran
sekolah dasar di suatu daerah selayaknya dan seyogyanya dikembangkan melalui
pendekatan fungsional dengan mengintegrasikan pendidikan karakter yang
berwawasan sosial dan budaya atau dengan istilah Sociocultural Based Character Education berbasis pada kearifan dan
keunggulan lokal di suatu daerah kedalam materi pelajaran yang relevan.
Gambar 3.2: Kerangka Sociocultural
Based Character Education
Substansi dari proses pengembangan
pembelajaran karakter dimulai dengan mengidentifikasi masalah dan kebutuhan (need
analysis), dilanjutkan dengan mengembangkan bahan, dan strategi
pembelajaran (model development), dan diakhiri dengan mengevaluasi
efektivitas dan efisiensinya (evaluation). Sebagai suatu sistem,
pembelajaran karakter memiliki ciri sistem secara umum seperti halnya
sistem-sistem yang lain. Sistem adalah benda, peristiwa, kejadian, atau cara
yang terorganisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang lebih kecil, dan
seluruh bagian tersebut secara bersama-sama berfungsi untuk rnencapai tujuan
tertentu. Setidaknya terdapat empat indikator dari sebuah sistem, yakni: 1)
memiliki atau dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil atau subsistem, 2)
setiap bagian mempunyai fungsi sendiri-sendiri, 3) seluruh bagian itu melakukan
fungsi secara bersama, 4) fungsi bersama tersebut mempunyai tujuan tertentu.
(Hamalik, 2005).
Pembelajaran karakter sebagai suatu
sistem haruslah memiliki empat indikator yang dipaparkan di atas. Model umum
sistem pembelajaran karakter terdiri atas komponen input, proses, dan output,
bahkan dapat dilengkapi dengan outcome. Supaya jelas pemahamannya model
pembelajaran sebagai sistem dapat divisualisasikan dalam gambar berikut ini.
Feedback
Gambar 3.3: Model Pembelajaran Karakter Sebagai Suatu Sistem
Indikator input dalam sistem
pembelajaran karakter dapat berupa siswa, mata pelajaran, metode, alat, media
pembelajaran, perangkat-perangkat pembelajaran yang lain termasuk persiapan
atau perencanaan pembelajaran. Indikator proses berupa aktivitas
berinteraksinya berbagai input, baik raw input (masukan siswa), instrumental
input (masukan berupa alat-alat termasuk guru dan kurikulum), maupun
environmental input (masukan lingkungan fisik maupun nonfisik). Hasil dari
proses pembelajaran karakter yang berupa keluaran (output) merupakan indikator
ketiga. Maksudnya, output merupakan cerminan langsung maupun tidak langsung
dari proses pembelajaran karakter dalam mapel-mapel tertentu yang berlangsung.
Realisasinya, output pembelajaran dapat berupa prestasi belajar, perubahan
sikap diri, perubahan perilaku diri, skor atau nilai penguasaan kompetensi
tertentu, dan hal-hal lain yang masih berkaitan. Outcome yang berada pada
indikator keempat dalam sebuah sistem pembelajaran merupakan kebermaknaan
output di dalam sistem yang lebih luas atau sistem lain yang relevan. Di sisi
lain, outcome dapat juga dimaknai sebagai hasil atau ukuran dari dampak output.
Jika dikaitkan dengan contoh output di atas, outcome pembelajaran karakter
dapat digambarkan dengan seberapa jauh nilai-nilai luhur yang dicapai dalam
pembelajaran karakter memiliki makna atau dapat menopang sikap dan prilaku
sehari-sehari baik dilingkungan sekolah maupun di lingkungan keluarga dan
sosial masyarakat.
Berkaitan dengan pembelajaran
karakter sebagai suatu sistem, proses pembelajaran karakter sebagai mulok yang
terintegrasi dalam mapel SD di suatu daerah diperlukan apresiasi yang mantap
dari berbagai pihak, terutama guru dan siswa yang menjadi pelaku sekaligus
sasaran dalam pembelajaran karakter. Salah satu upaya tersebut direalisasikan
dengan pengembangan materi ajar pendidikan karakter yang berwawasan
sosiokultural (Sociocultural Based
Character Education). Dengan harapan, pelaksanaan pendidikan karakter di SD
memperhatikan aspek-aspek keunggulan sosial budaya yang ada di suatu daerah
yang kental dengan budaya ramah tamah dan budi pekerti luhur serta nilai-nilai
luhur lainya yang tidak ada di daerah lain. Hal ini sejalan dengan kurikulum
KTSP yang menyatakan bahwa mulok harus dikembangkan dengan mengakomodir
keunggulan dan kearifan lokal di mana pendidikan karakter tersebut diterapkan.
4.
Pengembangan Pendidikan Karakter
SD Berwawasan Sosiokultural
Dalam
tataran konseptual, kurikulum muatan lokal sudah disosialisasikan oleh
pemerintah jauh sebelum pelaksanaannya tahun 1994, namun kenyataannya di
lapangan berdasarkan penilaian dan pemantauan oleh Pusat Pengembangan Kurikulum
dan Sarana Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan (1998), ternyata pemahaman pihak pelaksana di lapangan termasuk guru
terhadap kurikulum muatan lokal belum sempurna. Oleh
karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memecahkan permasalahan tersebut.
Khususnya pembelajaran karakter ini dapat diwujudkan dengan mengedepankan
kondisi sosiokultural di mana pembelajaran itu dilakukan. Mudjito AK, Direktur
Pembinaan TK dan SD, menyatakan strategi pembelajaran muatan lokal termasuk
pendidikan karakter harus dibuat menyenangkan untuk anak-anak didiknya.
Sehubungan dengan kondisi itu,
pengembangan materi ajar muatan lokal pendidikan karakter SD harus diupayakan
sesuai dengan konteks lingkungan sosiokultural siswa dengan mengacu pada
paradigma pembelajaran kebermaknaan yang menarik dan menyenangkan. Harapannya,
kompetensi siswa dalam pendidikan karakter berorientasi pada kecakapan hidup
yang relevan dengan tingkat perekembangan psikologis siswa. UU No. 20 Tahun
2003 Tentang Sisdiknas pada pasal 38 dinyatakan kurikulum pendidikan dasar dan
menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau
satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi
dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan
dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Berkaitan dengan hat itu,
khususnya dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan karakter di kelas, guru
sebagai pelaku di lapangan memiliki hak dalam memberikan andil dalam menyusun
kurikulum yang diberlakukan sekolahnya, karena masalah pemahaman kondisi siswa
dan sekolah menempatkan guru yang banyak bersinggungan dengan masalah
pelaksanaan kurikulum di lapangan, khususnya dalam pembelajaran pendidikan
karakter. Untuk itulah, diharapkan seorang guru memiliki daya inovatif dan
kreativitas dalam mengembangkan model pembelajaran maupun materi ajarnya.
Pola pengembangan pembelajaran
pendidikan karakter seperti ini sangat menguntungkan dalam hal mengeksplorasi
SDA maupun SDM yang dimiliki dalam rangka mencetak lulusan yang berkualitas.
Pengembangan materi ajar pendidikan karakter merupakan sumber utama dalam
proses pembelajaran antara guru dengan siswa selain sumber lain, oleh karena
itu, guru perlu memiliki kompetensi mengembangkan materi ajar pendidikan
karakter terutama yang berwawasan sosio kultural. Sehubungan dengan itu,
wawasan sosiokultural menjadi karakteristik dalam pengembangan materi ajar
pendidikan karakter ini bermaksud tidak melupakan keunggulan nilai-nilai luhur
yang terdapat pada budaya daerah yang berkerifan lokal. Artinya, nilai-nilai
kebudayaan daerah tidak dapat dilupakan oleh siswanya, sehingga pada saatnya,
semangat patriotisme, kebanggaan dan kearifan lokal dalam jangka panjang akan
memperjelas identitas dan jati diri setiap daerah melekat pada diri anak.
Sebagaimana upaya pemerintah dalam menyukseskan pelaksanaan otonomi daerah,
dalam arti bahwa setiap daerah memang membutuhkan identitas, jati diri atau
ciri khas (unik) yang berbeda dengan yang lain dalam satu kesatuan Negara
Republik Indonesia.
Adanya sikap anarkis dan pudarnya
sikap nasionalisme pada saat ini disinyalir anak-anak (dalam usia SD/dini)
kurang dikenalkan dengan keluhuran nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya
daerahnya. Mereka terlalu banyak disuguhkan budaya-budaya asing yang secara
tidak tersadar terbawa dalam proses pembelajaran dan perilaku sehari-hari.
Sebagai bangsa yang mandiri dalam menyikapi kondisi seperti itu, wawasan
sosiokultural dalam setiap pembelajaran (pendidikan karakter) menjadi salah
satu upaya alternatif dalam mengurangi pengaruh budaya asing yang sulit untuk
dihindari.
.