Minggu, 19 Mei 2013

PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA MELALUI TEKNIK REINFORCEMENT

PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA MELALUI TEKNIK REINFORCEMENT
OLEH:
ALI HARSOJO, S.Pd.
Guru SDN Aenganyar I Giligenting

A.    Latar Belakang
Secara umum dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakan dan dilahirkan secara ilmiah oleh para pakar dibidangnya adalah berkat adanya pendidikan. Karena dengan pendidikan (melalui proses pembelajaran dan latihan) meraka dapat memahami proses, cara, tehnik dan prosedur dalam menghasilkan sesuatu yang bermanfaat sebagai terapan dari ilmu yang telah dipelajarinya melalui kegiatan belajar mengajar pada lembaga pendidikan tertentu sampai akhirnya dapat mengusai ilmu yang dipelajari dan memiliki keterampilan yang memadai.
Dalam konteks pendidikan, kegiatan belajar mengajar merupakan suatu sistem. Kegiatan belajar mengajar terdiri dari berbagai komponen yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman (Rusman, 2010:5).

Kegiatan interaksi dalam proses belajar mengajar meliputi beberapa komponen yang terlibat, diantaranya pendidik atau guru bertindak mendidik peserta didik, peserta didik dan lingkungan belajar. Tindak mendidik tersebut tertuju dan mengarah pada perkembangan peserta didik menjadi mandiri yang memiliki segenap pengetahuan, sikap dan keterampilan yang memadai, yang bertujuan agar peserta didik menjadi mandiri dan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya melalui berbagai pengalaman yang telah dimiliki.
Penggunaan reinforcement dalam proses belajar mengajar di kelas dapat  meningkatkan perhatian siswa; Reinforcement dapat membangkitkan dan memelihara motivasi siswa; Reinforcement dapat memudahkan siswa belajar; Reinforcement dapat mengontrol dan memodifikasi tingkah laku siswa serta mendorong munculnya perilaku yang positif; Reinforcement dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada diri siswa; Reinforcement dapat memelihara iklim kelas yang kondusif (Sukardi, 1987).
Pemberian reinforcement oleh guru adalah salah satu faktor yang paling penting dalam kesuksesan anak didiknya yang disertai dengan kehangatan dan keantusiasan. Dimana dapat di tunjukkan dengan berbagai cara, misalnya dengan muka atau wajah berseri-seri disertai senyuman, suara yang riang penuh perhatian atau sikap yang memberi kesan bahwa penguatan yang diberikan memang sunguh-sunguh. Sebaliknya penguatan yang diberikan dengan suara lesu, sikap acuh tak acuh, wajah yang murung, tidak akan ada dampak positifnya bagi siswa, bahkan hanya akan menimbulkan kesan negatif bagi siswa.
Reinforcement yang diberikan guru bermakna bagi siswa. Artinya siswa memang merasa terdorong untuk meningkatkan penampilannya, misalnya jika guru mengatakan “model yang kamu rancang sangat-sangat menarik” karena model yang dibuat siswa tersebut memang benar-benar menarik hingga siswa benar-benar merasa bahwa ia memang patut mendapat pujian. Dengan perkataan lain, pujian itu bermakna bagi dia, sehingga mendorong dia untuk bekerja lebih giat dalam menciptakan model (Agus, 1986)
Reinforcement (penguatan) adalah respon yang diberikan terhadap  perilaku atau perbuatan yang dianggap baik yang membuat meningkatnya perilaku atau perbuatan yang di anggap baik (Hartono, 1997). Menurut Chahyana (1988), penguatan sering muncul dalam kehidupan sehari-hari, meskipun banyak yang tidak menyadari bahwa yang dimunculkan tersebut adalah penguatan. Penguatan  dapat membuat orang yang menerima penguatan tersebut merasa senang dan akan meningkatkan perbuatan yang diberi penguatan. Dalam kegiatan pembelajaran, penguatan mempunyai peran penting dari dalam meningkatkan keefektifan kegiatan pembelajaran. Pujian atau respon positif guru terhadap perilaku atau perbuatan siswa yang positif akan membuat siswa merasa senang karena dianggap mempunyai kemampuan.
Namun jika model yang dibuat sangat kasar dan tidak sesuai dengan tugas yang di berikan, sebaiknya guru jangan memuji model tersebut, tetapi hanya mencoba menyadarkan siswa tersebut akan hasil karyanya, misalnya dengan mengatakan saya tahu kamu bekerja keras menciptakan model ini, kalau bagian-bagian ini kamu perhalus lagi, modelmu akan menjadi lebih baik.
Respon negatif seperti kata-kata kasar, gertakan, hukuman, atau ejekan dari guru merupakan senjata ampuh untuk menghancurkan iklim kelassss yang kondusif maupun kepribadian siswa sendiri. Oleh karena itu, guru mengahargai segala jenis respon negatif tersebut. Jika siswa memberikan jawaban atau menunjukkan penampilan yang tidak memuaskan, guru menahan diri dari keinginan mencela atau mengejek jawaban atau penampilan siswa.
Apabila jawaban siswa keliru guru mengalihkan pertanyaan tersebut kepada siswa lain. Dengan cara tersebut siswa menyadari bahwa jawabannya kurang sempurna. Jika siswa menunjukkan penampilan yang tidak sempurna, guru dapat meminta siswa yang dianggap mampu untuk mendemontrasikan penampilan tersebut, kemudian siswa pertama diminta memperbaiki penampilannya. Dengan cara-cara tersebut, guru akan tetap memberikan balikan kepada siswa serta sekaligus terhindar dari penggunaan respon negatif.
Penerapan reinforcement sebagaimana diungkap Hermiyanto (2004) pada setiap proses belajar mengajar dapat dilakukan dengan berbagai tehnik berikut ini :
1.      Reinforcement Kepada Pribadi Tertentu
Pada tehink ini hal yang perlu dilakukan guru adalah dengan membuat nyebut nama seorang anak sambil memandangnya. Misalnya : Bila siswa dapat menjawab pertanyaan guru dengan baik, maka guru  memandang Tria kemudian mengatakan “Tria jawabanmu tepat sekali”.
2.      Reinforcement Kepada Kelompok Siswa
Apabila ada kelompok kerja siswa dapat melakukan tugas dengan baik maka guru dapat memberikan reinforcement kepada seluruh anggota kelompok tersebut. Misalnya : Guru memberikan penghargaan kepada kelompok siswa. Dengan demikian siswa yang tergabung dalam kelompok tersebut merasa senang dan ingin mengulangi lagi, atau bahkan siswa tersebut akan termotivasi untuk belajar berkelompok diluar jam pelajaran dikelas. Dan ini sangat dikerapkan sehingga prestasi belajar siswa meningkat.
3.      Berikan Reinforcement dengan Segera
Agar dampak positif yang diharapkan tidak menurun bahkan hilang, reinforcement haruslah diberikan segera setelah siswa menunjukkan respon yang diharapkan. Dengan perkataan lain, tidak ada waktu tunggu antara respon yang ditunjukkan dengan penguatan yang diberikan.
4.      Penggunaan Reinforcement yang Bervariasi
Pemberian reinforcement haruslah dilakukan dengan variasi yang kaya, hingga dampaknya cukup tinggi bagi siswa yang menerimanya. Penguatan verbal dengan kata-kata yang sama, misalnya : Bagus,bagus, bagus akan kehilangan makna, hingga tidak berarti lagi bagi siswa.
Demikian juga reinforcement dalam bentuk mimik dan gerakan badan yang diberikan secara terus menerus akan membosankan dan tidak berdampak apa-apa, bahkan mungkin akan menimbulkan respon negatif, misalnya : Jadi bahan tertawaan. Oleh karena itu, guru hendaknya berusaha mencari variasi dalam memberi reinforcement.
Jenis-jenis Reinforcement
Menurut Sukardi ( 1987), reinforcement pada dasarnya dapat diberikan dalam dua jenis yaitu reinforcement verbal dan reinforcement non verbal. Komponen-komponen keterampilan memberikan reinforcement yang harus dikuasai oleh guru berkaitan dengan keterampilan menggunakan kedua jenis reinforcement tersebut. Secara rinci, komponen-komponen tersebut sebagai berikut :
1.      Reinforcement Verbal
Reinforcement verbal paling mudah digunakan dalam kegiatan pembelajaran dalam bentuk komentar, pujian, dukungan, pengakuan, atau dorongan. Yang diharapkan dapat meningkatkan tingkah laku dan penampilan siswa. Komentar, pujian dan sebagainya tersebut dapat diberikan dalam bentuk kata-kata dan kalimat.
2.      Reinforcement Non-Verbal
Reinforcement non verbal dapat dinyatakan guru dengan gerakan senyuman, mendekat, sentuhan atau bentuk alin yang bukan berupa kat-kata atau kalimat. Reinforcement non verbal ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam, yaitu :
a.       Reinforcement berupa mimik dan gerakan badan
Mimik dan gerakan badan seperti senyuman, anggukan, tepukan tangan atau acungan jempol / ibu jari dapat mengkomunikasikan kepuasan guru terhadap respon siswa yang tentu saja merupakan reinforcement yang sangat berarti bagi siswa. Mimik dengan gerakan badan dapat dipakai bersama-sama dengan penguatan verbal. Misalnya ketika mengucapkan kata “bagus” guru tersenyum sambil mengacungkan ibu jari, atau ketika menganggukkan kepala, guru mengucapkan kata-kata “benar”.
b.      Reinforcement dengan cara mendekati
Gerak mendekati dapat ditunjukkan guru dengan cara melangkah mendekati siswa, berdiri disamping siswa atau kelompok siswa. Bahkan dalam situasi tertentu duduk bersama siswa atau kelompok siswa. Tujuan gerak mendekati adalah memberikan perhatian, menunjukkan rasa senang akan pekerjaan siswa, bahkan juga memberi rasa aman kepada siswa.
Bentuk reinforcement ini biasanya dipakai bersama-sama dengan bentuk reinforcement verbal, artinya ketika guru mendekati siswa, guru mengucapkan kata-kata tertentu sebagai reinforcement. Kombinasi ini memperkuat efek reinforcement namun harus dibatasi pemakaiannya sehingga efeknya tidak menurun.
c.       Reinforcement dengan cara memberikan sentuhan
Sentuhan seperti menepuk-nepuk bahu atau pundak siswa, menjabat tangan siswa atau mengangkat tangan siswa yang menang, jika dilakukan dengan tepat dapat merupakan reinforcement yang efektif bagi siswa. Namun, jenis reinforcement ini harus dipergunakan dengan penuh hati-hati dengan memperhatikan umur, jenis kelamin, serta latar belakang siswa. Misalnya menepuk bahu siswa atau mengelus rambutnya mungkin hanya sesuai untuk siswa SD sedangkan bagi siswa yang lebih besar dianggap berlebihan. Oleh karena itu, guru harus mempertimbangkan faktor-faktor yang disebutkan tadi.
d.      Reinforcement dengan memberikan tugas yang menyenangkan
Guru memberi kesempatan kepada siswa yang telah menyelesaikan tugas dapat diminta untuk membantu teman-temannya menyelesaikan pekerjaan atau yang dikenal dengan tuton sebaya. Kegiatan ini dapat menimbulkan kepuasan hati siswa, karena kemampuan siswa tersebut merasa dihargai.
e.       Reinforcement berupa simbol atau benda
Dalam situasi tertentu, reinforcement dapat diberikan dalam bentuk simbol atau benda tertentu. Simbol dapat berupa tanda cek (√), komentar tertulis atau paraf guru pada buku siswa, berbagai tanda dengan warna tertentu misalnya hijau, kuning, ungu, atau merah. Sedangkan benda yang digunakan sebagai reinforcement adalah benda-benda kecil yang harganya tidak terlalu mahal tetapi berarti bagi siswa. Misalnya kartu bergambar, pencil, atau buku tulis, peniti atau benda-benda kecil lainnya.
Pemberian penguatan dengan menggunakan simbol atau tanda hendaknya tidak terlalu sering dilakukan agar “makna” nya tidak hilang atau agar siswa tidak memandangnya sebagai satu target dari penampilannya. Pemberian komentar tertulis pada pekerjaan siswa, lebih-lebih yang menunjukkan memperbaiki atau meningkatkan penampilannya sebaiknya diberikan secara teratur.
f.       Reinfocement tak penuh (patrial)
Reinforcement ini diberikan kepada siswa yang telah memberikan hasil pekerjaan atau tugas, tetapi masih sedikit kesalahan. Menghadapi kasus ini, guru diharapkan tidak langsung menyalahkan siswa tetapi sebaiknya diberikan penguatan tak penuh.
Misalnya dengan berkata : Jawabanmu sudah baik, namun bukan itu yang bapak maksudkan. Coba sempurnakan lagi jawabanmu, atau dengan kalimat lain yang sejenis. Mendapat penguatan seperti diatas siswa akan mencoba mencari kekurangannya, dan mendorong untuk, mengerjakan serta menemukan jawaban yang sempurna.
Manfaat Mengenal Reinforcement
Dengan reinforcement  dapat berbuat secara meyakinkan dan mandiri; memiliki rasa tanggung jawab; bangga terhadap tugas-tugas yang dipercayakannya; menghilangkan frustasi;senang mencoba tugas-tugas dan tantangan baru; mengatasi perasaan negatif dan positif; mengetahui kelemahan dan kekurangan dirinya serta mampu menawarkan bantuan pada orang lain.
Menurut Franken (1994), ada sejumlah besar penelitian yang menunjukkan bahwa penguatan  adalah basis bagi semua motif perilaku. Konsep diri mengakibatkan munculnya diri, dan yang menciptakan motivasi perilaku. Dengan konsep diri yang tepat memberi kemungkinan dalam  mengembangkan visi; dan merupakan  salah satu isu utama yang ada pada kalangan pelajar sekarang dalam meraih masa depannya  (Huitt, 2004).
Franken (1994) menegaskan, bahwa orang yang memiliki rasa penghargaan diri dengan penguatan  secara baik dapat memaksimalkan hasil kerjanya karena mereka tahu apa yang dapat dan tidak dapat mereka lakukan. Konsep diri dalam bentuk memberikan penghargaan pada diri sendiri melalui proses pengambilan tindakan dan kemudian merefleksikan pada apa yang telah dilakukan dan apa yang telah orang katakan mengenai apa yang telah dilakukan. Merefleksikan pada apa yang telah dilakukan dan dapat melakukan perbandingan dengan dugaan atau harapan serta harapan orang lain dan dengan karakteristik serta prestasi orang lain merupakan prasyarat pemahaman terhadap diri sendiri (Brigham, 1986; James, 1890).
Memberi penguatan  sama dengan Kesuksesan/Keinginan. Meningkatnya penghargaan terhadap diri sendiri akan membawa hasil jika kesuksesan diperbarui secara relatif menurut keinginan. Bandura (1997) menyatakan bahwa kemanjuran diri seseorang adalah salah satu prediksi terbaik tentang prestasi yang sukses. la juga menyatakan bahwa pengalaman keunggulan seseorang yang berhubungan dengan kesuksesan adalah pengaruh utama pada kemanjuran diri seseorang. Karena kemanjuran diri sama‑sama dibuat atau dibentuk oleh refleksi kesadaran seseorang, maka akan tampak bahwa para pendidik dan orangtua seharusnya memberikan pengalaman yang dapat dikuasai oleh para murid, daripada berusaha langsung menaikkan rasa percaya diri dengan cara yang lainnya.
Memberi penguatan  adalah penting karena dapat membantu untuk menumbuhkan rasa yakin dan bangga terhadap dirinya sendiri dan apa yang dapat dilakukan. Ia memberimu keberanian untuk mencoba hal baru dan kekuatan untuk percaya pada dirimu sendiri. la membuatmu menghargai dirimu sendiri, bahkan jika kamu melakukan kesalahan sekalipun. Dan jika kamu menghargai dirimu sendiri, maka orang dewasa dan anak‑anak yang lain biasanya akan menghargaaimu juga.
Dengan penguatan merupakan tiket untuk membuat pilihan yang bagus mengenai pikiran seseorang. Jika dianggap penting dan memiliki penhargaan diri yang baik, maka  cukup pintar untuk membuat keputusan sendiri. Terbangun dalam menghargai keamananmu, perasaanmu, kesehatanmu – keseluruhan hal tentang dirimu sendiri.
Di lain pihak, tingginya keyakinan diri sendiri terdiri atas pikiran dan perasaan positif yang dimiliki tentang dirimu sendiri sebagai dampak lanjutan adanya penguatan. Lagipula, hal tersebut mempengaruhi pikiran, tindakan, dan perasaanmu tentang orang lain, seperti halnya seberapa sukseskah kamu dalam hidup. Perolehan keyakinan diri yang tinggi bisa membuatmu menjadi orang seperti yang diinginkan, lebih bisa memahami dan menikmati perbedaan orang lain, dan lebih menawarkan dirimu sendiri kepada lingkungannya.


1.      Pembentukan Karakter pada Peserta Didik
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan nasional, Kemendiknas sebenarnya telah mengembangkan grand design pendidikan karakater  untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konsteptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Menurut Masnur Muslich (2011:85) konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosio-kultural tersebut dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and Kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu kepada grand design tersebut.
Berikut adalah alur pembentukan pendidikan karakater pada peserta didik dari dari Kemendiknas.

Gambar 1.1: Alur Pendidikan Karakter pada Peserta Didik
Dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa perilaku karakter dibentuk dari nilai-nilai luhur yang terdiri dari tiga unusur yaitu: a) unsur agama, pancasila, UUD 1945, SISDIKNAS UU No. 20 tahun 2003, b) unsur teori pendidikan, psikologi, nilai, sosial, budaya dan yang terakhir adalah c) pengalaman terbaik (best practice) dan praktik nyata. Untuk selanjutnya, nilai-nilai luhur tersebut diimplementasikan dalam satuan pendidikan, dimana satuan pendidikan tersebut tidak hanya bekerja sendirian akan tetapi juga berkolaborasi atau ada intervensi dari pihak keluarga peserta didik dan masyarakat tempat mereka tinggal.  Di sampin itu pula, dalam proses pengimlentasian tersebut, perlu juga didukung oleh kebijakan, pedoman, sumber daya, lingkungan, sarana dan prasarana, kebersamaan, dan komitmen pemangku kepentingan. Sehingga out-put nya adalah peserta didik yang mempunyai perilaku berkarakter.

2.      Pengembangan Pendidikan Karakter
Dalam proses  pendidikan  karakter,  secara  aktif  peserta  didik mengembangkan  potensi  dirinya,  melakukan  proses  internalisasi,  dan  penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul dengan masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang  lebih  sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum (2010:15) menyebutkan bahwa Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter bangsa dilakukan oleh kepala  sekolah,  guru,  tenaga  kependidikan  (konselor)  secara  bersama-sama  sebagai suatu komunitas pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum melalui hal-hal berikut ini:
a.       Program Pengembangan Diri
Dalam  program  pengembangan  diri,  perencanaan  dan  pelaksanaan  pendidikan karakter dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah, yaitu melalui hal-hal berikut:
1)      Kegiatan Rutin Sekolah
Kegiatan  rutin merupakan  kegiatan  yang dilakukan  peserta  didik  secara  terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh: kegiatan ini adalah upacara setiap hari Senin dan hari besar  kenegaraan,  pemeriksaan  kebersihan  badan  (kuku,  telinga,  rambut,  dan lain-lain)  setiap  hari  Senin,  beribadah  bersama  atau  shalat  bersama  setiap dhuhur (bagi yang beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran, mengucap salam bila bertemu guru, tenaga kependidikan, atau teman.
2)      Kegiatan Spontan
Kegiatan  spontan  yaitu  kegiatan  yang  dilakukan  secara  spontan  pada  saat  itu juga. Kegiatan  ini dilakukan biasanya pada saat guru dan  tenaga kependidikan yang  lain mengetahui  adanya  perbuatan  yang  kurang  baik  dari  peserta  didik yang  harus  dikoreksi  pada  saat  itu  juga.  Apabila  guru  mengetahui  adanya perilaku  dan  sikap  yang  kurang  baik  maka  pada  saat  itu  juga  guru  harus melakukan koreksi sehingga peserta didik tidak akan melakukan tindakan yang tidak baik  itu. Contoh: kegiatan  itu: membuang  sampah  tidak pada  tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak  lain, berkelahi, memalak, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh.
Kegiatan  spontan  berlaku  untuk  perilaku  dan  sikap  peserta  didik  yang  tidak baik  dan  yang  baik  sehingga  perlu  dipuji, misalnya: memperoleh  nilai  tinggi, menolong  orang  lain,  memperoleh  prestasi  dalam  olah  raga  atau  kesenian, berani menentang atau mengkoreksi perilaku teman yang tidak terpuji.
3)      Keteladanan
Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam  memberikan  contoh  terhadap  tindakan-tindakan  yang  baik  sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap  sesuai dengan nilai-nilai pendidikan karakter maka guru dan  tenaga  kependidikan  yang  lain  adalah  orang  yang  pertama  dan  utama memberikan  contoh  berperilaku  dan  bersikap  sesuai  dengan  nilai-nilai  itu. Misalnya, berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata  sopan,  kasih  sayang,  perhatian  terhadap  peserta  didik,  jujur,  menjaga kebersihan.
4)      Pengkondisian
Untuk  mendukung  keterlaksanaan  pendidikan  budaya  dan  karakter  bangsa maka  sekolah  harus  dikondisikan  sebagai  pendukung  kegiatan  itu.  Sekolah harus  mencerminkan  kehidupan  nilai-nilai  budaya  dan  karakter  bangsa  yang diinginkan. Misalnya,  toilet  yang  selalu  bersih,  bak  sampah  ada  di  berbagai tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat belajar ditempatkan teratur.
b.      Pengintegrasian dalam Mata Pelajaran
Pengembangan nilai-nilai pendidikan karakater diintegrasikan dalam  setiap  pokok  bahasan  dari  setiap  mata  pelajaran.  Nilai-nilai  tersebut dicantumkan  dalam  silabus  dan RPP. Pengembangan  nilai-nilai  itu  dalam  silabus ditempuh melalui cara-cara berikut ini:
1)      Mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar Isi (SI) untuk menentukan apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang tercantum itu sudah tercakup di dalamnya;
2)      Menggunakan  tabel  nilai  yang  memperlihatkan  keterkaitan antara  SK  dan  KD dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan;
3)      Mencantumkankan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam  tabel 1  itu ke dalam silabus;
4)      Mencantumkan nilai-nilai  yang sudah tertera  dalam silabus ke dalam RPP;
5)      Mengembangkan  proses  pembelajaran  peserta  didik  secar aktif  yang memungkinkan  peserta  didik  memiliki  kesempatan  melakukan  internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai; dan
6)      Memberikan  bantuan  kepada  peserta  didik,  baik  yang  mengalami  kesulitan untuk menginternalisasi nilai maupun untuk menunjukkannya dalam perilaku.
Senada dengan hal yang ada diatas, M. Furqon Hidayatullah (2010:56) juga memberikan langkah-langkah dalam pengintegrasian nilai-nilai pendidikan karakter dalam  mata pelajaran. Langkah-langkah pengintegrasian  pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1)      Mendeskripsikan kompetensi dasar tiap mata pelajaran
2)      Mengeidentifikasi aspek-aspek atau materi-materi pendidikan karakter yang akan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran
3)      Mengintegrasikan butir-butir pendidikan karakter ke dalam kompetensi dasar (materi pembelajaran) yang dipandanng relevan atau ada kaitannya
4)      Melaksanakan pembelajaran
5)      Menetukan metode pembelajaran
6)      Menetukan evaluasi pembelajaran; dan
7)      Menetukan sumber belajar
Berikut adalah contoh format pengintegrasian pendidikan karakter ke Budaya Sekolah
Budaya  sekolah  cakupannya  sangat  luas,  umumnya  mencakup  ritual,  harapan, hubungan,  demografi,  kegiatan  kurikuler,  kegiatan  ekstrakurikuler,  proses mengambil  keputusan,  kebijakan  maupun  interaksi  sosialbantarkomponen  di sekolah. Budaya  sekolah  adalah  suasana  kehidupan  sekolah  tempat  peserta  didik berinteraksi  dengan  sesamanya,  guru  dengan  guru,  konselor  dengan  sesamanya, pegawai  administrasi  dengan  sesamanya,  dan  antaranggota  kelompok masyarakat sekolah. Interaksi  internal  kelompok  dan  antarkelompok  terikat  oleh  berbagai aturan,  norma,  moral  serta  etika  bersama  yang  berlaku  di  suatu  sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial,  kepedulian  lingkungan,  rasa  kebangsaan,    dan  tanggung  jawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah.

3.      Pendidikan Karakter Berwawasan Sosiokultural
Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 20 /2003 Bab II Pasal 3 telah memungkinkan diajarkannya pendidikan karakter pada tingkat SD sebagai materi pelajaran muatan lokal. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan UU di atas jelas bahwa, selain bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, fungsi pendidikan nasional kita susungguhnya juga diarahkan untuk membentuk watak atau karakter bangsa Indonesia, sesuai dengan potensi keunggulan budaya lokal bangsa yang beradab dan bermartabat luhur. Dapat diartikan disini, bahwa siswa perlu mengakomodasi segala potensi, termasuk kekayaan sosial-budaya atau sosiokultural yang ada. Untuk ini diperlukan pengembangan pembelaran siswa yang memberi peluang bagi guru untuk mengembangkan muatan karakter yang berbasis social-budaya yang terjadi di sekitar proses pembelajaran itu berlangsung, yaitu pembelajaran yang akomodatif yang ditinjau dari sudut pandang keunggulan lokal dan berwawasan sosiokultural.












 



Gambar 3.1: A Humanistic View of Education (Dubin, 1986: 68)
Larson dan Smalley (1972: 39) menggambarkan sociocultural sebagai sebuah blue print yang menuntun perilaku manusia dalam sebuah masyarakat dan ditetaskan dalam kehidupan keluarga. Sociocultural mengatur tingkah laku seseorang dalam kelompok, membuat seseorang sensitif terhadap status, dan membantunya mengetahui apa yang diharapkan orang lain terhadap dirinya dan apa yang akan terjadi jika tidak memenuhi harapan-harapan mereka. Sociocultural membantu seseorang untuk mengetahui seberapa jauh dirinya dapat berperan sebagai individu dan apa tanggung jawab dirinya terhadap kelompok. Sosiokultural (sociocultural) juga didefinisikan sebagai gagasan-gagasan, kebiasaan, keterampilan, seni, dan alat yang memberi ciri pada sekelompok orang tertentu pada waktu tertentu. Sosiokultural adalah sebuah sistem dari pola-pola terpadu yang mengatur perilaku manusia (Condon 1973: 4). Kenyataan bahwa tak ada masyarakat yang ada tanpa sebuah sosial-budaya menggambarkan perlunya sosiokultural untuk memenuhi kebutuhan psikologi dan biologis tertentu pada manusia.
Sosiokultural menentukan, bagi masing-masing orang, sebuah konteks tingkah laku afektif dan kognitif, sebuah template untuk kehidupan sosial dan perseorangan. Namun, seseorang cenderung merasakan kenyataan dalam konteks social-budayanya sendiri. Dengan demikian jelas bahwa sosio-kultural, sebagai kondisi manifestasi perilaku yang mendarah daging dan mode dari persepsi, menjadi sangat penting dalam sebuah entitas atau kelompok tertentu. Karakter adalah bagaian dari sosial budaya, dan social budaya adalah bagian dari sebuah karakter. Kedua hal ini berjalin dengan erat sehingga seseorang tidak dapat memisahkan keduanya tanpa kehilangan arti dari keduanya tersebut. Untuk itu, di dalam pendidikan karakter seseorang harus menyertakan pula kondisi social budaya yang dimiliki. Robinson-Stuart dan Nocon (1996) mengumpulkan dan menyatukan beberapa perspektif pada pembelajaran karakter berwawasan sosial budaya yang dilihat dalam beberapa dekade terakhir ini. Mereka mengamati bahwa gagasan pembelajaran karakter dengan sedikit atau tanpa pengertian yang mendalam mengenai norma-norma dan pola-pola sosial-budaya dari beberapa komunitas. Perspektif yang lain adalah dugaan bahwa suatu pendidikan karakter dapat menghadirkan kodisi social budaya tertentu sebagai sebuah “facta”. Robinson-Stuart dan Nocon mengusulkan bahwa para pelajar bahasa menjalani pembelajaran social budaya sebagai sebuah "proses, yaitu, sebagai cara merasakan, menafsirkan, menafsirkan perasaan, berada di dunia, dan berhubungan dengan di mana seseorang berada dan dengan siapa seseorang bertemu" (dalam Brown 2000). Pembelajaran karakter berwawasan sosial budaya adalah suatu proses pembagian makna di antara perwakilan-perwakilan kehidupan sosial budaya tertentu. Hal ini bersifat pengalaman, sebuah proses pembelajaran karakter yang terus-menerus bertahun-­tahun, dan menembus secara mendalam pada pola-pola pikir, perasaan dan tindakan seseorang.
Sosial budaya sebenarnya adalah bagian integral suatu interaksi antara budaya dan pemikiran. Pola budaya kognitif dan kebebasan terkadang diisyaratkan secara ekplisit dalam tindakan, contoh gaya prilaku akan menjadi faktor penentu budaya tertentu. Wilhem Von Humdalk (1767-1835) yang mengklaim bahwa social budaya membentuk karakter seseorang. Pendekatan yang sebenarnya menggambarkan sebagian apa yang dipresentasikan pada buku, isu, penemuan, kesimpulan, dan prinsip pembelajaran dan pengajaran karakter, prinsipnya adalah: a) Motivasi dari dalam merupakan dorongan utama untuk belajar, b) percaya diri merupakan awal yang penting untuk keberhasilan, c) karakter dan budaya merupakan suatu jalinan.
Kajian tentang pendidikan karakter dalam hal ini ditujukan pada subtansi kebermaknaan atau dengan kata lain mengkaji pendidikan karakter dari sudut pandang fungsi sebagai hakikat. Berdasarkan pendekatan fungsional ini, peranan atau kebermaknaan pendidikan karakter dalam konteks sosial dan konteks budaya sangat penting dan sangat erat keberadaanya. Untuk itu, materi ajar yang digunakan dalam proses pembelajaran sekolah dasar di suatu daerah selayaknya dan seyogyanya dikembangkan melalui pendekatan fungsional dengan mengintegrasikan pendidikan karakter yang berwawasan sosial dan budaya atau dengan istilah Sociocultural Based Character Education berbasis pada kearifan dan keunggulan lokal di suatu daerah kedalam materi pelajaran yang relevan.
 


 
Gambar 3.2: Kerangka Sociocultural Based Character Education
Substansi dari proses pengembangan pembelajaran karakter dimulai dengan mengidentifikasi masalah dan kebutuhan (need analysis), dilanjutkan dengan mengembangkan bahan, dan strategi pembelajaran (model development), dan diakhiri dengan mengevaluasi efektivitas dan efisiensinya (evaluation). Sebagai suatu sistem, pembelajaran karakter memiliki ciri sistem secara umum seperti halnya sistem-sistem yang lain. Sistem adalah benda, peristiwa, kejadian, atau cara yang terorganisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang lebih kecil, dan seluruh bagian tersebut secara bersama-sama berfungsi untuk rnencapai tujuan tertentu. Setidaknya terdapat empat indikator dari sebuah sistem, yakni: 1) memiliki atau dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil atau subsistem, 2) setiap bagian mempunyai fungsi sendiri-sendiri, 3) seluruh bagian itu melakukan fungsi secara bersama, 4) fungsi bersama tersebut mempunyai tujuan tertentu. (Hamalik, 2005).
Pembelajaran karakter sebagai suatu sistem haruslah memiliki empat indikator yang dipaparkan di atas. Model umum sistem pembelajaran karakter terdiri atas komponen input, proses, dan output, bahkan dapat dilengkapi dengan outcome. Supaya jelas pemahamannya model pembelajaran sebagai sistem dapat divisualisasikan dalam gambar berikut ini.


 



Feedback
Gambar 3.3: Model Pembelajaran Karakter Sebagai Suatu Sistem
Indikator input dalam sistem pembelajaran karakter dapat berupa siswa, mata pelajaran, metode, alat, media pembelajaran, perangkat-perangkat pembelajaran yang lain termasuk persiapan atau perencanaan pembelajaran. Indikator proses berupa aktivitas berinteraksinya berbagai input, baik raw input (masukan siswa), instrumental input (masukan berupa alat-alat termasuk guru dan kurikulum), maupun environmental input (masukan lingkungan fisik maupun nonfisik). Hasil dari proses pembelajaran karakter yang berupa keluaran (output) merupakan indikator ketiga. Maksudnya, output merupakan cerminan langsung maupun tidak langsung dari proses pembelajaran karakter dalam mapel-mapel tertentu yang berlangsung. Realisasinya, output pembelajaran dapat berupa prestasi belajar, perubahan sikap diri, perubahan perilaku diri, skor atau nilai penguasaan kompetensi tertentu, dan hal-hal lain yang masih berkaitan. Outcome yang berada pada indikator keempat dalam sebuah sistem pembelajaran merupakan kebermaknaan output di dalam sistem yang lebih luas atau sistem lain yang relevan. Di sisi lain, outcome dapat juga dimaknai sebagai hasil atau ukuran dari dampak output. Jika dikaitkan dengan contoh output di atas, outcome pembelajaran karakter dapat digambarkan dengan seberapa jauh nilai-nilai luhur yang dicapai dalam pembelajaran karakter memiliki makna atau dapat menopang sikap dan prilaku sehari-sehari baik dilingkungan sekolah maupun di lingkungan keluarga dan sosial masyarakat.
Berkaitan dengan pembelajaran karakter sebagai suatu sistem, proses pembelajaran karakter sebagai mulok yang terintegrasi dalam mapel SD di suatu daerah diperlukan apresiasi yang mantap dari berbagai pihak, terutama guru dan siswa yang menjadi pelaku sekaligus sasaran dalam pembelajaran karakter. Salah satu upaya tersebut direalisasikan dengan pengembangan materi ajar pendidikan karakter yang berwawasan sosiokultural (Sociocultural Based Character Education). Dengan harapan, pelaksanaan pendidikan karakter di SD memperhatikan aspek-aspek keunggulan sosial budaya yang ada di suatu daerah yang kental dengan budaya ramah tamah dan budi pekerti luhur serta nilai-nilai luhur lainya yang tidak ada di daerah lain. Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP yang menyatakan bahwa mulok harus dikembangkan dengan mengakomodir keunggulan dan kearifan lokal di mana pendidikan karakter tersebut diterapkan.

4.      Pengembangan Pendidikan Karakter SD Berwawasan Sosiokultural
Dalam tataran konseptual, kurikulum muatan lokal sudah disosialisasikan oleh pemerintah jauh sebelum pelaksanaannya tahun 1994, namun kenyataannya di lapangan berdasarkan penilaian dan pemantauan oleh Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (1998), ternyata pemahaman pihak pelaksana di lapangan termasuk guru terhadap kurikulum muatan lokal belum sempurna. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memecahkan permasalahan tersebut. Khususnya pembelajaran karakter ini dapat diwujudkan dengan mengedepankan kondisi sosiokultural di mana pembelajaran itu dilakukan. Mudjito AK, Direktur Pembinaan TK dan SD, menyatakan strategi pembelajaran muatan lokal termasuk pendidikan karakter harus dibuat menyenangkan untuk anak-anak didiknya.
Sehubungan dengan kondisi itu, pengembangan materi ajar muatan lokal pendidikan karakter SD harus diupayakan sesuai dengan konteks lingkungan sosiokultural siswa dengan mengacu pada paradigma pembelajaran kebermaknaan yang menarik dan menyenangkan. Harapannya, kompetensi siswa dalam pendidikan karakter berorientasi pada kecakapan hidup yang relevan dengan tingkat perekembangan psikologis siswa. UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas pada pasal 38 dinyatakan kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Berkaitan dengan hat itu, khususnya dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan karakter di kelas, guru sebagai pelaku di lapangan memiliki hak dalam memberikan andil dalam menyusun kurikulum yang diberlakukan sekolahnya, karena masalah pemahaman kondisi siswa dan sekolah menempatkan guru yang banyak bersinggungan dengan masalah pelaksanaan kurikulum di lapangan, khususnya dalam pembelajaran pendidikan karakter. Untuk itulah, diharapkan seorang guru memiliki daya inovatif dan kreativitas dalam mengembangkan model pembelajaran maupun materi ajarnya.
Pola pengembangan pembelajaran pendidikan karakter seperti ini sangat menguntungkan dalam hal mengeksplorasi SDA maupun SDM yang dimiliki dalam rangka mencetak lulusan yang berkualitas. Pengembangan materi ajar pendidikan karakter merupakan sumber utama dalam proses pembelajaran antara guru dengan siswa selain sumber lain, oleh karena itu, guru perlu memiliki kompetensi mengembangkan materi ajar pendidikan karakter terutama yang berwawasan sosio kultural. Sehubungan dengan itu, wawasan sosiokultural menjadi karakteristik dalam pengembangan materi ajar pendidikan karakter ini bermaksud tidak melupakan keunggulan nilai-nilai luhur yang terdapat pada budaya daerah yang berkerifan lokal. Artinya, nilai-nilai kebudayaan daerah tidak dapat dilupakan oleh siswanya, sehingga pada saatnya, semangat patriotisme, kebanggaan dan kearifan lokal dalam jangka panjang akan memperjelas identitas dan jati diri setiap daerah melekat pada diri anak. Sebagaimana upaya pemerintah dalam menyukseskan pelaksanaan otonomi daerah, dalam arti bahwa setiap daerah memang membutuhkan identitas, jati diri atau ciri khas (unik) yang berbeda dengan yang lain dalam satu kesatuan Negara Republik Indonesia.
Adanya sikap anarkis dan pudarnya sikap nasionalisme pada saat ini disinyalir anak-anak (dalam usia SD/dini) kurang dikenalkan dengan keluhuran nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya daerahnya. Mereka terlalu banyak disuguhkan budaya-budaya asing yang secara tidak tersadar terbawa dalam proses pembelajaran dan perilaku sehari-hari. Sebagai bangsa yang mandiri dalam menyikapi kondisi seperti itu, wawasan sosiokultural dalam setiap pembelajaran (pendidikan karakter) menjadi salah satu upaya alternatif dalam mengurangi pengaruh budaya asing yang sulit untuk dihindari.

.

Baca juga tulisan menarik lainnya

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar :

Posting Komentar