Perjuangan Panjang Guru Mengahadapi Tantangan Dunia Pendidikan
Oleh: Ali Harsojo, S.Pd.
Guru SDN Aenganyar I Giligenting
Perjuangan guru belumlah selesai, itu
adalah fakta yang ada dan itu adalah perjuangan lanjutan yang tidak boleh
dihentikan. PGRI sebagai organisasi profesi sudah seharusnya menjadi wadah
penguat jati diri guru itu sendiri dalam fungsi dan tanggung jawabnya sekaligus
juga untuk penguat jati diri anak bangsa. Integritas guru sebagai pejuang dan
pelaksana pendidikan harus tetap dikobarkan menuju masyarakat yang cerdas,
mandiri dan berkesejahteraan. Dirgahayu, guru!
PGRI : Organisasi Guru Lintas Sejarah
PGRI sendiri lahir
pada tanggal 25 November 1945, tepat seratus hari setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Cikal bakal organisasi PGRI adalah sebuah organisasi
guru bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang berdiri tahun 1912,
kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.
Semangat Proklamasi
17 Agustus 1945 menjiwai para guru untuk menyelenggarakan Kongres Guru
Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta. Melalui kongres
inilah, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan
pendidikan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku,
sepakat dihapuskan. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di dalam kongres ini,
pada tanggal 25 November 1945, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
dideklarasikan. Dengan semangat mengisi kemerdekaan, mereka bersatu dalam wadah
PGRI, dengan tiga tujuan :
1.
Mempertahankan dan
menyempurnakan Republik Indonesia
2.
Mempertinggi tingkat pendidikan
dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan
3.
Membela hak dan nasib buruh
umumnya, guru pada khususnya.
Sejak Kongres Guru
Indonesia itulah, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam
wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sudah banyak kerja yang dilakukan,
walaupun masih sangat banyak agenda yang harus diperjuangkan untuk memperbaiki
kehidupan para guru, serta meningkatkan kualitas serta kapasitas mereka.
Agenda Perjuangan Para Guru
Belum lama berselang,
PGRI merayakan ulang tahunnya yang ke 66, pada 25 November 2011 kemarin. Pada
usia yang ke-66 ini PGRI menghadapi serangkaian agenda perjuangan yang
kompleks. Sejak dari perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, hingga
politisasi guru dalam Pilkada dan nasib mereka ketika kepala daerah terpilih menganggap
para guru tidak mendukung pencalonannya.
Salah satunya, saat
ini PB PGRI tengah berjuang meminta Pemerintah agar segera menetapkan ketentuan
Upah Minimal Pendidikan (UMP) untuk guru-guru swasta. Menurut Pak Lis,
Pemerintah tidak boleh tutup mata terhadap kenyataan guru swasta yang hanya
digaji antara Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per bulan. Bahkan masih banyak yang
diberi honor di bawah seratus ribu rupiah sebulan. Bagaimana mereka akan
mengajar dengan baik, jika gajinya masih sangat jauh dari layak.
Menurut Dr.
Sulistiyo, pemberian gaji yang sangat rendah tersebut merupakan bentuk
penganiayaan atau kezaliman terhadap para guru. “Jika Pemerintah tidak turun
tangan mengatasi hal tersebut, sama saja dengan membiarkan praktik penganiayaan
massal terhadap guru,” kata Pak Lis.
“Sudah puluhan tahun
profesi guru dilecehkan. Coba anda bayangkan, buruh pabrik saja yang lulusan SD
gajinya diatur UU dan dibayar di atas UMR. Masak guru sarjana dibayar di bawah
UMR. Itu namanya pelecehan terhadap guru. Kalaupun dibayar sesuai UMR saja, itu
namanya menghina,” tambahnya.
Pak Lis menyatakan
menyambut baik keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang ingin
menetapkan standar minimal gaji guru swasta. Persoalan tuntutan standar gaji
yang layak bagi guru swasta tersebut sudah menjadi sorotan PGRI sejak lama.
Bahkan PGRI telah mengusulkan sebuah nama untuk ketetapan standar gaji guru,
yakni dalam bentuk UMP (Upah Minimal Pendidikan).
Menurut Pak Lis,
penetapan standar gaji guru swasta bisa dilakukan secara bertahap. Misalnya
dengan menaikkan tunjangan fungsional yang saat ini sebesar Rp 300 ribu per
bulan menjadi Rp 500 ribu per bulan. “Pihak parpol dan DPR harus
menyuarakan aspirasi ini agar segera terealisir peningkatan klesejahteraan para
guru”, demikian salah satu permintaannya.
Pak Lis berharap agar
diskriminasi dan pelecehan terhadap profesi guru segera bisa diakhiri, terutama
guru tidak tetap dan honorer yang selama ini posisinya terus terpojok. Proses
rekuitmen yang tidak jelas membuat kesejahteraan terhadap guru makin tidak
jelas. Karena itu, Pemerintah harus membuat kebijakan berdasarkan data
kehidupan nyata para guru, bukan dengan perkiraan.
Jalan Panjang Para Guru
Jalan panjang masih
harus dilalui para guru, untuk memenuhi kehidupan yang layak, dan bisa
menunaikan tugas pendidikan dengan optimal. Untuk itu diperlukan organisasi
guru yang kuat, yang bisa memperjuangkan hak-hak para guru. Tentu saja harus
didukung dengan serius oleh semua komponan masyarakat dan bangsa, karena ini
menyangkut kualitas pendidikan di Indonesia. Bukan semata-mata urusan
organisasi PGRI.
Dr. Sulistiyo, M.Pd
resmi memegang pucuk pimpinan PB PGRI berdasarkan amanat Kongres PGRI ke-XX
tahun 2008 di Palembang. Suami dari Ny. Halimah ini bertekad menjadikan PGRI
sebagai satu-satunya organisasi guru di Indonesia yang besar, kuat, berwibawa,
bermartabat, dan dihargai semua pihak, termasuk dunia internasional. Menurut
Pak Lis, untuk mewujudkan hal itu diperlukan perubahan menuntut keberanian dan
komitmen.
Akankah PGRI mampu
menjawab seluruh persoalan dunia guru dan pendidikan? Dengan dukungan semua
komponen bangsa, insyaallah mampu. Sejarah yang akan membuktikannya.
Hingga saat ini masih banyak masalah dan
kendala yang berkaitan dengan guru sebagai satu kenyataan yang harus diatasi
dengan segera. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan
antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum, dsb. tapi belum
mempriotitaskan guru sebagai pelaksana di tingkat instruksional terutama dari
aspek kesejahteraannya. Beberapa masalah dan kendala yang berkaitan dengan
kondisi guru antara lain sebagai berikut.
1. Kuantitas, kualitas, dan distribusi.
Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum
cukup untuk menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan sekarang.
Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang khususnya di sekolah dasar, merupakan
masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dari aspek
kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan
minimal yang dituntut. Data di lampiran 1 menunjukkan bahwa dari 2.783.321
orang guru yang terdiri atas 1.528.472 orang guru PNS dan sisanya (1.254.849
orang) non-PNS, baru sekitar 40% yang sudah memiliki kualifikasi S-1/D-IV dan
di atasnya. Sisanya masih di bawah D-3 atau lebih rendah. Dari aspek
penyebarannya, masih terdapat ketidak seimbangan penyebaran guru antar sekolah
dan antar daerah.. Dari aspek kesesuaiannya, di SLTP dan SM, masih terdapat
ketidak sepadanan guru berdasarkan mata pelajaran yang harus diajarkan.
2. Kesejahteraan.
Dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan
yang dirasakan sebagai perlakuan diskriminatif para guru. Di antaranya adalah:
(1) kesenjangan antara guru dengan PNS lainnya, serta dengan para birokratnya,
(2) kesenjangan antara guru dengan dosen, (3) kesenjangan guru menurut jenjang
dan jenis pendidikan, misalnya antara guru SD dengan guru SLTP dan Sekolah
Menengah, (4) kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji oleh negara,
dengan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta, (5) kesenjangan antara guru
pegawai tetap dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan antara guru
yang bertugas di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan atau daerah
terpencil, (7) kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban
mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban tugasnya banyak
(misalnya di sekolah yang kekurangan guru) akan tetapi imbalannya sama saja
atau lebih sedikit. Kesejahteraan mencakup aspek imbal jasa, rasa aman, kondisi
kerja, hubungan antar pribadi, dan pengembangan karir.
3. Manajemen guru
Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam
pengelolaan yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang
berlandaskan paradigma pendidikan (antara lain manajemen pemerintahan,
kekuasaan, politik, dsb.). Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan
terdapat kekurang-terpaduan antara sistem pendidikan, rekrutmen, pengangkatan,
penempatan, supervisi, dan pembinaan guru. Masih dirasakan belum terdapat
keseimbangan dan kesinambungan antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen
dan pengangkatan guru masih selalu diliputi berbagai masalah dan kendala
terutama dilihat dari aspek kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi.
Pembinaan dan supervisi dalam jabatan guru belum mendukung terwujudnya
pengembangan pribadi dan profesi guru secara proporsional. Mobilitas mutasi
guru baik vertikal maupun horisontal masih terbentur pada berbagai peraturan
yang terlalu birokratis dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan
otonomi daerah yang “kebablasan” cenderung membuat manajemen guru menjadi makin
semrawut.
4. Penghargaan terhadap guru
Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru belum
memperoleh penghargaan yang memadai. Selama ini pemerintah telah berupaya
memberikan penghargaan kepada guru dalam bentuk pemilihan guru teladan, lomba
kreatiivitas guru, guru berprestasi, dsb. meskipun belum memberikan motivasi
bagi para guru. Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih banyak dipersepsi
sebagai pelecehan ketimbang penghargaan. Pemberian penghargaan terhadap guru
harus bersifat adil, terbuka, non-diskriminatif, dan demokratis dengan
melibatkan semua unsur yang terkait dengan pendidikan terutama para pengguna
jasa guru itu sendiri, sementara pemerintah lebih banyak berperan sebagai
fasilitator.
5. Pendidikan guru
Sistem pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan masih
belum memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan bermutu
disamping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat
ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik dan kurang memperhatikan pengembangan
kepribadian disamping kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan
lingkungan. Pendidikan guru yang ada sekarang ini masih bertopang pada
paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga diasumsikan bahwa guru
yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap menyampaikannya. Hal ini
mengabaikan azas guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan sumber
keteladanan dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Pada hakekatnya
pendidikan guru itu adalah pembentukan kepribadian disamping penguasaan materi
ajar. Disamping itu pola-pola pendidikan guru yang ada dewasa ini masih
terisolasi dengan sub-sistem manajemen lainnya seperti rekrutmen, penempatan,
mutasi, promosi, penggajian, dan pembinaan profesi. Sebagai akibat dari hal itu
semua, guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK tidak terkait dengan kondisi
kebutuhan lapangan baik kuantitas, kualitas, maupun kesepadannya dengan
kebutuhan nyata.
PGRI Wadah Penguat Jati Diri
Setiap tahun guru
memperingati hari kelahirannya. Pendidik atau guru, melalui PGRI (Persatuan
Guru Republik Indonesia) tidak pernah alpa memperingati kelahiran organisasi
insan bergelar “pahlawan tanpa tanda jasa” itu
PGRI yang diakui dan dikukuhkan
terlahir ke bumi Indonesia sejak 25 November 1945, setiap tahunnya selalu diperingati
pada tanggal keramat itu sebagai Hari Sakti Guru Indonesia.
Tahun ini guru
Indonesia akan berulang tahun yang ke-67 kali. Usia sebegitu lama yang
seharusnya sudah berkategori sangat tua. Bukan saja sekadar sudah dewasa. Dari
satu generasi ke generasi berikutnya, guru terus melanjutkan perjuangannya
sebagai agen perubahan. Peran guru sebagai pengajar sekaligus pendidik terus
diemban dalam berbagai rona keadaan. PGRI yang lahir melalui peristiwa
bersejarah 67 tahun lalu tidak terjadi begitu saja. Bermula dari kebutuhan
perjuangan kemerdekaan bangsa yang terjajah jauh sebelum datangnya kemerdekaan,
di relung hati para guru ikut tumbuh rasa persatuan dan kesatuan untuk
perjuangan kemerdekaan itu sendiri.
Di zaman Hindia
Belanda, guru bahkan sudah memiliki wadah berorganisasi yang bernama PGHB,
singkatan dari Persatuan Guru Hindia Belanda. Mereka memang merupakan gabungan
guru-guru desa yang berada di sekolah desa dan sekolah rakyat waktu itu. Dan
selain PGHB, dalam sejarah guru juga kita baca ada beberapa organisasi guru
lain seperti PGB (Persatuan Guru Bantu), PGD (Perserikatan Guru Desa), PGAs
(Persatuan Guru Ambachtsschool), PNs (Persatuan Normaalschool) dan
beberapa lagi yang lainnya yang disesuaikan dengan perbedaan keadaan dan kebutuhannya.
Perjuangan
terus-menerus dari para guru, ini adalah bukti adanya kesadaran kebangsaan dan
semangat perjuangan terutama untuk memperjuangkan persamaan hak dan poisi
dengan penjajah waktu itu. Sejarah menjelaskan, pada tahun 1932 ketika
intensitas dan kualitas perjuangan bangsa ini kian tinggi, nama PGHB diubah
menjadi PGI (Persatuan Guru Indonesia) yang ternyata tidak disenangi Belanda
karena menggunakan kata Indonesia yang bagi guru itu adalah jiwa dan semangat
perjuangan itu sendiri.
Namun demikian, wadah
ini tetap eksis hingga dibredel penjajah Jepang bersamaan kebijakan
Jepang yang membekukan organisasi-oraganisasi dan sekolah-sekolah yang ada. Proklamasi
Kemerdekaan (17 Agustus 1945) telah menjadi tonggak baru perjuangan guru
Indonesia. Dengan semangat 17 Agustus 1945 para insan mulia ini mengadakan
kongres bersejarahnya di Surakarta seratus hari pasca-proklamasi monumental
itu. Kongres Guru Indonesia itu dicatat sejarah terjadi pada 24-25 November
1945. Dan pada hari kedua kongres itulah disepakati dan didirikannya PGRI yang
menggabungkan seluruh organisasi guru waktu itu. Bermulalah era perjuangan guru
di bawah wadah PGRI. Dalam sejarah PGRI dijelaskan bahwa ada tiga tujuan yang
dipekikkan para pahlawan pendidikan bersama pekikan “merdeka” ketika RRI Surakarta
dibombardir tentara Inggris.
Ketiga tujuan itu
adalah, pertama, mempertahankan dan menyempurnakan RI; kedua,
mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dasar-dasar kerakyatan;
dan ketiga, membela hak dan nasib buruh umumnya, guru khususnya.
PGRI benar-benar dijadikan wadah penguat jati diri guru khususnya dan
diharapkan akan mampu pula melahirkan generasi terdidik yang mempunyai jati
diri yang kuat juga. Inilah sari pati tanggung jawab guru yang mesti
terus-menerus diperjuangkan melalui PGRI. Eksistensi PGRI sebagai wadah
perjuangan pendidikan sepanjang masa, telah membuat pemerintah memberikan
penghormatan khusus kepada PGRI dengan ditetapkannya hari lahir PGRI itu
sebagai Hari Guru Nasional (HGN) terhitung sejak dikeluarkannya Kepres No
78/1994. Kini, setiap tanggal kramat itu, para guru Indonesia memperingati
lahirnya PGRI sebagai Hari Guru Nasional.
Saat ini sebagian
perjuangan guru sudah mampu terwujudkan. Lahirnya Undang-Undang No 14/ 2005
tentang Guru dan Dosen setelah sebelumnya juga sudah ada UU Sisdiknas adalah
sebagian keinginan terwujudnya perjuangan guru selama ini. Sebagian guru bahkan
juga sudah merasakan kesejahteraan yang memadai dengan diberlakukannya program
sertifikasi guru sejak tahun 2007 lalu sebagai implementasi undang-undang
tersebut.
Peran PGRI Bagi Guru Dan
Pembangunan Pendidikan
Hal terpenting yang harus diketahui oleh
segenap anggota PGRI dimanapun adalah upaya dan perjuangan PGRI selama ini bagi
kepentingan guru dan masa depan pendidikan tak henti-hentinya dilakukan oleh
Pengurus PGRI. Dengan kata lain, PGRI Sebagai organisasi profesi dan
perjuangan, terutama pada era reformasi ini telah banyak menunaikan tugas pokok
dan fungsinya melalui perjuangan yang tiada henti dalam rangka merespon
aspirasi dan kepentingan guru, melindungi dan memperjuangkan kepentingan guru
serta pendidikan.
Selain itu PGRI berhasil memperjuangkan
keluarnya PP No. 61 tentang sertifikasi Profesi guru, berhasil memperjuangkan
keluarnya PP No. 41 tentang Tunjangan Profesi guru, dosen dan guru besar. Kini,
yang masih diperjuangkan PGRI adalah usulan kenaikan pangkat secara otomatis
setiap empat tahun sekali, serta kenaikan pangkat dalam waktu dua tahun dengan
sistem kredit poin terhadap tenaga pendidik.
Sebagai organisasi Serikat Pekerja, PGRI
telah berkiprah memajukan pendidikan seluruh rakyat berdasarkan kerakyatan
bekerja sama dengan Education International (EI) serta secara terus menerus
melakukan upaya membela dan memperjuangkan nasib guru khususnya dan nasib buruh
pada umumnya (organisasi ketenagakerjaan).
Kiprah dan peran PGRI bagi kepentingan guru
dan pembangunan pendidikan, tidak hanya mencuat ke permukaan pada era reformasi
saat ini tapi sejak kelahirannya 63 tahun lebih lamanya, PGRI secara konsisten
mengemban amanah anggotanya baik melalui dialog, dan silaturahim dengan
pengambil kebijakan mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri hingga ke
tingkat bawah Gubernur, Bupati-Walikota dan pengambil kebijakan lainnya. Tidak
hanya itu saja, PGRI bahkan tidak segan-segan melakukan pengerahan massa untuk
meloloskan ataupun membela kepentingan guru dan pendidikan. Menurut catatan,
bagaimana peran dan kiprah PGRI sejak era orde lama-orde baru dan era reformasi
dalam peran sertanya melahirkan berbagai karya penting dan bersejarah tidak
hanya untuk kepentingan guru tapi juga untuk kepentingan masyarakat yang lebih
luas.
Meski telah melalui rentang perjalanan yang
cukup panjang dan melelahkan, namun menurut Sugito perjuangan untuk mewujudkan
tatanan guru Indonesia yang berkualitas, sejahtera dan terlindungi belum
berakhir. Tantangan kedepan masih terbentang luas dan semua tantangan itu hanya
bisa diselesaikan jika seluruh elemen guru bersatu dan solid dalam wadah PGRI.
Menurutnya, selama ini satu-satunya organisasi guru yang bisa menembus ke
elite-elite pengambil kebijakan mulai dari Presiden, Wakil Presiden sampai Menteri
hanya PGRI. Itu artinya, PGRI merupakan organisasi guru , Dosen dan pendidik
yang diakui eksistensinya oleh lembaga-lembaga negara dan lembaga lainnya
ditingkat nasional dan internasional.