Rabu, 08 Mei 2013

Perjuangan Panjang Guru Mengahadapi Tantangan Dunia Pendidikan



Perjuangan Panjang Guru Mengahadapi Tantangan Dunia Pendidikan

Oleh: Ali Harsojo, S.Pd.
Guru SDN Aenganyar I Giligenting


Perjuangan guru belumlah selesai, itu adalah fakta yang ada dan itu adalah perjuangan lanjutan yang tidak boleh dihentikan. PGRI sebagai organisasi profesi sudah seharusnya menjadi wadah penguat jati diri guru itu sendiri dalam fungsi dan tanggung jawabnya sekaligus juga untuk penguat jati diri anak bangsa. Integritas guru sebagai pejuang dan pelaksana pendidikan harus tetap dikobarkan menuju masyarakat yang cerdas, mandiri dan berkesejahteraan. Dirgahayu, guru!





PGRI : Organisasi Guru Lintas Sejarah
PGRI sendiri lahir pada tanggal 25 November 1945, tepat seratus hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Cikal bakal organisasi PGRI adalah sebuah organisasi guru bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang berdiri tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.
Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai para guru untuk menyelenggarakan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta. Melalui kongres inilah, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan pendidikan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di dalam kongres ini, pada tanggal 25 November 1945, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dideklarasikan. Dengan semangat mengisi kemerdekaan, mereka bersatu dalam wadah PGRI, dengan tiga tujuan :
1.      Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia
2.      Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan
3.      Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.
Sejak Kongres Guru Indonesia itulah, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sudah banyak kerja yang dilakukan, walaupun masih sangat banyak agenda yang harus diperjuangkan untuk memperbaiki kehidupan para guru, serta meningkatkan kualitas serta kapasitas mereka.

Agenda Perjuangan Para Guru
Belum lama berselang, PGRI merayakan ulang tahunnya yang ke 66, pada 25 November 2011 kemarin. Pada usia yang ke-66 ini PGRI menghadapi serangkaian agenda perjuangan yang kompleks. Sejak dari perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, hingga politisasi guru dalam Pilkada dan nasib mereka ketika kepala daerah terpilih menganggap para guru tidak mendukung pencalonannya.
Salah satunya, saat ini PB PGRI tengah berjuang meminta Pemerintah agar segera menetapkan ketentuan Upah Minimal Pendidikan (UMP) untuk guru-guru swasta. Menurut Pak Lis, Pemerintah tidak boleh tutup mata terhadap kenyataan guru swasta yang hanya digaji antara Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per bulan. Bahkan masih banyak yang diberi honor di bawah seratus ribu rupiah sebulan. Bagaimana mereka akan mengajar dengan baik, jika gajinya masih sangat jauh dari layak.
Menurut Dr. Sulistiyo, pemberian gaji yang sangat rendah tersebut merupakan bentuk penganiayaan atau kezaliman terhadap para guru. “Jika Pemerintah tidak turun tangan mengatasi hal tersebut, sama saja dengan membiarkan praktik penganiayaan massal terhadap guru,” kata Pak Lis.
“Sudah puluhan tahun profesi guru dilecehkan. Coba anda bayangkan, buruh pabrik saja yang lulusan SD gajinya diatur UU dan dibayar di atas UMR. Masak guru sarjana dibayar di bawah UMR. Itu namanya pelecehan terhadap guru. Kalaupun dibayar sesuai UMR saja, itu namanya menghina,” tambahnya.
Pak Lis menyatakan menyambut baik keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang ingin menetapkan standar minimal gaji guru swasta. Persoalan tuntutan standar gaji yang layak bagi guru swasta tersebut sudah menjadi sorotan PGRI sejak lama. Bahkan PGRI telah mengusulkan sebuah nama untuk ketetapan standar gaji guru, yakni dalam bentuk UMP (Upah Minimal Pendidikan).
Menurut Pak Lis, penetapan standar gaji guru swasta bisa dilakukan secara bertahap. Misalnya dengan menaikkan tunjangan fungsional yang saat ini sebesar Rp 300 ribu per bulan menjadi Rp 500 ribu per bulan. “Pihak parpol dan DPR harus menyuarakan aspirasi ini agar segera terealisir peningkatan klesejahteraan para guru”, demikian salah satu permintaannya.
Pak Lis berharap agar diskriminasi dan pelecehan terhadap profesi guru segera bisa diakhiri, terutama guru tidak tetap dan honorer yang selama ini posisinya terus terpojok. Proses rekuitmen yang tidak jelas membuat kesejahteraan terhadap guru makin tidak jelas. Karena itu, Pemerintah harus membuat kebijakan berdasarkan data kehidupan nyata para guru, bukan dengan perkiraan. 
Jalan Panjang Para Guru
Jalan panjang masih harus dilalui para guru, untuk memenuhi kehidupan yang layak, dan bisa menunaikan tugas pendidikan dengan optimal. Untuk itu diperlukan organisasi guru yang kuat, yang bisa memperjuangkan hak-hak para guru. Tentu saja harus didukung dengan serius oleh semua komponan masyarakat dan bangsa, karena ini menyangkut kualitas pendidikan di Indonesia. Bukan semata-mata urusan organisasi PGRI.
Dr. Sulistiyo, M.Pd resmi memegang pucuk pimpinan PB PGRI berdasarkan amanat Kongres PGRI ke-XX tahun 2008 di Palembang. Suami dari Ny. Halimah ini bertekad menjadikan PGRI sebagai satu-satunya organisasi guru di Indonesia yang besar, kuat, berwibawa, bermartabat, dan dihargai semua pihak, termasuk dunia internasional. Menurut Pak Lis, untuk mewujudkan hal itu diperlukan perubahan menuntut keberanian dan komitmen.
Akankah PGRI mampu menjawab seluruh persoalan dunia guru dan pendidikan? Dengan dukungan semua komponen bangsa, insyaallah mampu. Sejarah yang akan membuktikannya.
Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan dengan guru sebagai satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum, dsb. tapi belum mempriotitaskan guru sebagai pelaksana di tingkat instruksional terutama dari aspek kesejahteraannya. Beberapa masalah dan kendala yang berkaitan dengan kondisi guru antara lain sebagai berikut.

1.      Kuantitas, kualitas, dan distribusi.

Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan sekarang. Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang khususnya di sekolah dasar, merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang dituntut. Data di lampiran 1 menunjukkan bahwa dari 2.783.321 orang guru yang terdiri atas 1.528.472 orang guru PNS dan sisanya (1.254.849 orang) non-PNS, baru sekitar 40% yang sudah memiliki kualifikasi S-1/D-IV dan di atasnya. Sisanya masih di bawah D-3 atau lebih rendah. Dari aspek penyebarannya, masih terdapat ketidak seimbangan penyebaran guru antar sekolah dan antar daerah.. Dari aspek kesesuaiannya, di SLTP dan SM, masih terdapat ketidak sepadanan guru berdasarkan mata pelajaran yang harus diajarkan.

2.      Kesejahteraan.

Dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan yang dirasakan sebagai perlakuan diskriminatif para guru. Di antaranya adalah: (1) kesenjangan antara guru dengan PNS lainnya, serta dengan para birokratnya, (2) kesenjangan antara guru dengan dosen, (3) kesenjangan guru menurut jenjang dan jenis pendidikan, misalnya antara guru SD dengan guru SLTP dan Sekolah Menengah, (4) kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji oleh negara, dengan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta, (5) kesenjangan antara guru pegawai tetap dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan antara guru yang bertugas di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan atau daerah terpencil, (7) kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban tugasnya banyak (misalnya di sekolah yang kekurangan guru) akan tetapi imbalannya sama saja atau lebih sedikit. Kesejahteraan mencakup aspek imbal jasa, rasa aman, kondisi kerja, hubungan antar pribadi, dan pengembangan karir.

3.       Manajemen guru

Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang berlandaskan paradigma pendidikan (antara lain manajemen pemerintahan, kekuasaan, politik, dsb.). Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurang-terpaduan antara sistem pendidikan, rekrutmen, pengangkatan, penempatan, supervisi, dan pembinaan guru. Masih dirasakan belum terdapat keseimbangan dan kesinambungan antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen dan pengangkatan guru masih selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama dilihat dari aspek kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi. Pembinaan dan supervisi dalam jabatan guru belum mendukung terwujudnya pengembangan pribadi dan profesi guru secara proporsional. Mobilitas mutasi guru baik vertikal maupun horisontal masih terbentur pada berbagai peraturan yang terlalu birokratis dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” cenderung membuat manajemen guru menjadi makin semrawut.

4.      Penghargaan terhadap guru

Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru belum memperoleh penghargaan yang memadai. Selama ini pemerintah telah berupaya memberikan penghargaan kepada guru dalam bentuk pemilihan guru teladan, lomba kreatiivitas guru, guru berprestasi, dsb. meskipun belum memberikan motivasi bagi para guru. Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan. Pemberian penghargaan terhadap guru harus bersifat adil, terbuka, non-diskriminatif, dan demokratis dengan melibatkan semua unsur yang terkait dengan pendidikan terutama para pengguna jasa guru itu sendiri, sementara pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator.

5.      Pendidikan guru

Sistem pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan masih belum memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan bermutu disamping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik dan kurang memperhatikan pengembangan kepribadian disamping kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan. Pendidikan guru yang ada sekarang ini masih bertopang pada paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga diasumsikan bahwa guru yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap menyampaikannya. Hal ini mengabaikan azas guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan sumber keteladanan dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Pada hakekatnya pendidikan guru itu adalah pembentukan kepribadian disamping penguasaan materi ajar. Disamping itu pola-pola pendidikan guru yang ada dewasa ini masih terisolasi dengan sub-sistem manajemen lainnya seperti rekrutmen, penempatan, mutasi, promosi, penggajian, dan pembinaan profesi. Sebagai akibat dari hal itu semua, guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK tidak terkait dengan kondisi kebutuhan lapangan baik kuantitas, kualitas, maupun kesepadannya dengan kebutuhan nyata.

PGRI Wadah Penguat Jati Diri
Setiap tahun guru memperingati hari kelahirannya. Pendidik atau guru, melalui PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) tidak pernah alpa memperingati kelahiran organisasi insan bergelar “pahlawan tanpa tanda jasa” itu
PGRI yang diakui dan dikukuhkan terlahir ke bumi Indonesia sejak 25 November 1945, setiap tahunnya selalu diperingati pada tanggal keramat itu sebagai Hari Sakti Guru Indonesia.
Tahun ini guru Indonesia akan berulang tahun yang ke-67  kali. Usia sebegitu lama yang seharusnya sudah berkategori sangat tua. Bukan saja sekadar sudah dewasa. Dari satu generasi ke generasi berikutnya, guru terus melanjutkan perjuangannya sebagai agen perubahan. Peran guru sebagai pengajar sekaligus pendidik terus diemban dalam berbagai rona keadaan. PGRI yang lahir melalui peristiwa bersejarah 67 tahun lalu tidak terjadi begitu saja. Bermula dari kebutuhan perjuangan kemerdekaan bangsa yang terjajah jauh sebelum datangnya kemerdekaan, di relung hati para guru ikut tumbuh rasa persatuan dan kesatuan untuk perjuangan kemerdekaan itu sendiri.
Di zaman Hindia Belanda, guru bahkan sudah memiliki wadah berorganisasi yang bernama PGHB, singkatan dari Persatuan Guru Hindia Belanda. Mereka memang merupakan gabungan guru-guru desa yang berada di sekolah desa dan sekolah rakyat waktu itu. Dan selain PGHB, dalam sejarah guru juga kita baca ada beberapa organisasi guru lain seperti PGB (Persatuan Guru Bantu), PGD (Perserikatan Guru Desa), PGAs (Persatuan Guru Ambachtsschool), PNs (Persatuan Normaalschool) dan beberapa lagi yang lainnya yang disesuaikan dengan perbedaan keadaan dan kebutuhannya.
Perjuangan terus-menerus dari para guru, ini adalah bukti adanya kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan terutama untuk memperjuangkan persamaan hak dan poisi dengan penjajah waktu itu. Sejarah menjelaskan, pada tahun 1932 ketika intensitas dan kualitas perjuangan bangsa ini kian tinggi, nama PGHB diubah menjadi PGI (Persatuan Guru Indonesia) yang ternyata tidak disenangi Belanda karena menggunakan kata Indonesia yang bagi guru itu adalah jiwa dan semangat perjuangan itu sendiri.
Namun demikian, wadah ini tetap eksis hingga dibredel  penjajah Jepang bersamaan kebijakan Jepang yang membekukan organisasi-oraganisasi dan sekolah-sekolah yang ada. Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945) telah menjadi tonggak baru perjuangan guru Indonesia. Dengan semangat 17 Agustus 1945 para insan mulia ini mengadakan kongres bersejarahnya di Surakarta seratus hari pasca-proklamasi monumental itu. Kongres Guru Indonesia itu dicatat sejarah terjadi pada 24-25 November 1945. Dan pada hari kedua kongres itulah disepakati dan didirikannya PGRI yang menggabungkan seluruh organisasi guru waktu itu. Bermulalah era perjuangan guru di bawah wadah PGRI. Dalam sejarah PGRI dijelaskan bahwa ada tiga tujuan yang dipekikkan para pahlawan pendidikan bersama pekikan “merdeka” ketika RRI Surakarta dibombardir tentara Inggris.
Ketiga tujuan itu adalah, pertama,  mempertahankan dan menyempurnakan RI; kedua, mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dasar-dasar kerakyatan; dan  ketiga,  membela hak dan nasib buruh umumnya, guru khususnya. PGRI benar-benar dijadikan wadah penguat jati diri guru khususnya dan diharapkan akan mampu pula melahirkan generasi terdidik yang mempunyai jati diri yang kuat juga. Inilah sari pati tanggung jawab guru yang mesti terus-menerus diperjuangkan melalui PGRI. Eksistensi PGRI sebagai wadah perjuangan pendidikan sepanjang masa, telah membuat pemerintah memberikan penghormatan khusus kepada PGRI dengan ditetapkannya hari lahir PGRI itu sebagai Hari Guru Nasional (HGN) terhitung sejak dikeluarkannya Kepres No 78/1994. Kini, setiap tanggal kramat itu, para guru Indonesia memperingati lahirnya PGRI sebagai Hari Guru Nasional.
Saat ini sebagian perjuangan guru sudah mampu terwujudkan. Lahirnya Undang-Undang No 14/ 2005 tentang Guru dan Dosen setelah sebelumnya juga sudah ada UU Sisdiknas adalah sebagian keinginan terwujudnya perjuangan guru selama ini. Sebagian guru bahkan juga sudah merasakan kesejahteraan yang memadai dengan diberlakukannya program sertifikasi guru sejak tahun 2007 lalu sebagai implementasi undang-undang tersebut.

Peran PGRI Bagi Guru Dan Pembangunan Pendidikan
Hal terpenting yang harus diketahui oleh segenap anggota PGRI dimanapun adalah upaya dan perjuangan PGRI selama ini bagi kepentingan guru dan masa depan pendidikan tak henti-hentinya dilakukan oleh Pengurus PGRI. Dengan kata lain, PGRI Sebagai organisasi profesi dan perjuangan, terutama pada era reformasi ini telah banyak menunaikan tugas pokok dan fungsinya melalui perjuangan yang tiada henti dalam rangka merespon aspirasi dan kepentingan guru, melindungi dan memperjuangkan kepentingan guru serta pendidikan.
Selain itu PGRI berhasil memperjuangkan keluarnya PP No. 61 tentang sertifikasi Profesi guru, berhasil memperjuangkan keluarnya PP No. 41 tentang Tunjangan Profesi guru, dosen dan guru besar. Kini, yang masih diperjuangkan PGRI adalah usulan kenaikan pangkat secara otomatis setiap empat tahun sekali, serta kenaikan pangkat dalam waktu dua tahun dengan sistem kredit poin terhadap tenaga pendidik.
Sebagai organisasi Serikat Pekerja, PGRI telah berkiprah memajukan pendidikan seluruh rakyat berdasarkan kerakyatan bekerja sama dengan Education International (EI) serta secara terus menerus melakukan upaya membela dan memperjuangkan nasib guru khususnya dan nasib buruh pada umumnya (organisasi ketenagakerjaan).
Kiprah dan peran PGRI bagi kepentingan guru dan pembangunan pendidikan, tidak hanya mencuat ke permukaan pada era reformasi saat ini tapi sejak kelahirannya 63 tahun lebih lamanya, PGRI secara konsisten mengemban amanah anggotanya baik melalui dialog, dan silaturahim dengan pengambil kebijakan mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri hingga ke tingkat bawah Gubernur, Bupati-Walikota dan pengambil kebijakan lainnya. Tidak hanya itu saja, PGRI bahkan tidak segan-segan melakukan pengerahan massa untuk meloloskan ataupun membela kepentingan guru dan pendidikan. Menurut catatan, bagaimana peran dan kiprah PGRI sejak era orde lama-orde baru dan era reformasi dalam peran sertanya melahirkan berbagai karya penting dan bersejarah tidak hanya untuk kepentingan guru tapi juga untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Meski telah melalui rentang perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, namun menurut Sugito perjuangan untuk mewujudkan tatanan guru Indonesia yang berkualitas, sejahtera dan terlindungi belum berakhir. Tantangan kedepan masih terbentang luas dan semua tantangan itu hanya bisa diselesaikan jika seluruh elemen guru bersatu dan solid dalam wadah PGRI. Menurutnya, selama ini satu-satunya organisasi guru yang bisa menembus ke elite-elite pengambil kebijakan mulai dari Presiden, Wakil Presiden sampai Menteri hanya PGRI. Itu artinya, PGRI merupakan organisasi guru , Dosen dan pendidik yang diakui eksistensinya oleh lembaga-lembaga negara dan lembaga lainnya ditingkat nasional dan internasional.


Baca juga tulisan menarik lainnya

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar :

Posting Komentar