KELUARGA BESAR SDN. AENGANYAR I
KEC. GILIGENTING KAB. SUMENEP
MENGUCAPKAN
SELAMAT HARI KARTINI
MINGGU, 21 APRIL 2013
Sekilas tentang RA. Kartini
Raden Adjeng Kartini adalah
seseorang dari kalangan priyayi atau kelas
bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama,
tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai
Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di
Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Ayah Kartini pada mulanya adalah
seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan
seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena
M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi[2], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden
Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan
itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan
ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11
bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah
anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat
bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono,
adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini
diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School).
Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia
harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa
Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada
teman-teman korespondensi
yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah
Rosa
Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan
majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul
keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa
perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini
bersama suaminya, R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat (1903).
Kartini banyak membaca surat kabar
Semarang De Locomotief
yang diasuh Pieter Brooshooft,
ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku
kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu
pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche
Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat
di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa
saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang
Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat.
Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum.
Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan
persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku
yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta
karya Multatuli, yang pada November 1901
sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib)
karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya
Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop
de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die
Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh
menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini
menikah pada tanggal 12 November 1903.
Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung
mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor
kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung
Pramuka.
Sekolah
Kartini (Kartinischool), 1918.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya,
Soesalit
Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904.
Beberapa hari kemudian, 17 September 1904,
Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini,
kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912,
dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut
adalah "Sekolah
Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Surat-surat
Setelah Kartini wafat, Mr.
J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan
surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa.
Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door
Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju
Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911.
Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat
tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu
dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah
Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938,
keluarlah Habis Gelap
Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima
bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang
waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali.
Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes
L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam
bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini,
seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan
pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda
terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang
dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional
Indonesia, antara lain W.R. Soepratman
yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.
Pemikiran
Pada surat-surat Kartini tertulis
pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang
kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan
gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat
kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan
belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling
dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid
dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid
en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah
dengan Humanitarianisme
(peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta
tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi
harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan
Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk
menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa
akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus
dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia
dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang
diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia
mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa
diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan
lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk
berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita
daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama
agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan
pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah
penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.
Surat-surat Kartini banyak
mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita
menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang
tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya
sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat
mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut
juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah
dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya
mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini
untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di
Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan
studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa
sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut.
Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut,
terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana
untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah
dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan
adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat
berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi
pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak
berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja,
bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah
akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda
sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di
Betawi.
Saat menjelang pernikahannya,
terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran.
Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan
keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam
surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung
keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar
Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini
menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang
mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya
untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip
patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Buku
- Habis Gelap Terbitlah Terang
Sampul
buku versi Armijn Pane.
Pada 1922, oleh Empat
Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu
dengan judul Habis Gelap
Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang
penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia
pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap
Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda
dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan
Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini
juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat
Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan
surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia
lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran
Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane
juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam
"Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan
surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat
kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita
agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat
dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah
satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab
pembahasan.
- Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin
Sutrisno. Pada mulanya Sulastin menerjemahkan Door Duisternis Tot
Licht di Universitas Leiden,
Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972.
Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan
buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin
bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979,
sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door
Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan
judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut
Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah:
"Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa".
Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini
adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap
surat-surat Kartini yang ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain
diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya,
terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini, Surat-surat
kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.
- Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters
from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost
Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door
Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Joost Coté
juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri
hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan
surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot
Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan
penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist
1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela
Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang
dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.
Sampul
Panggil Aku Kartini Saja, dikompilasi oleh Pramoedya Ananta Toer.
Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan
pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer.
Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan
data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.
- Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
Akhir tahun 1987, Sulastin
Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku Kartini
Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya
lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon,
diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat
maju dalam cara berpikir dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam
surat tanggal 27 Oktober 1902,
dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai
pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat tersebut,
yang menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang vegetarian.[3] Dalam kumpulan itu, surat-surat Kartini
selalu dipotong bagian awal dan akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan
kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali
oleh Sulastin Sutrisno.
- Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar
periode 1899-1903 diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya
memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr
Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau ... Feminisme dan
Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal
ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan
bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya,
agama, bahkan korupsi.
Kontroversi
Peringatan
Hari Kartini di tahun 1953.
Ada kalangan yang meragukan
kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan,
Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini
timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda
menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang
berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar
naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin
Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah
Belanda.
Penetapan tanggal kelahiran Kartini
sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui,
mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya
sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak
pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada
pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina
Tiahahu,Dewi Sartika dan
lain-lain.Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan
Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah.
Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum
feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang
pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang
mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional;
artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk
kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
Peringatan
Hari
Kartini
Makam
R.A. Kartini di Bulu, Rembang.
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini,
tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang
kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Nama
jalan di Belanda
- Utrecht: Di Utrecht Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat merupakan salah satu jalan utama, berbentuk 'U' yang ukurannya lebih besar dibanding jalan-jalan yang menggunakan nama tokoh perjuangan lainnya seperti Augusto Sandino, Steve Biko, Che Guevara, Agostinho Neto.
- Venlo: Di Venlo Belanda Selatan, R.A. Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan Hagerhof, di sekitarnya terdapat nama-nama jalan tokoh wanita Anne Frank dan Mathilde Wibaut.
- Amsterdam: Di wilayah Amsterdam Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan Bijlmer, jalan Raden Adjeng Kartini ditulis lengkap. Di sekitarnya adalah nama-nama wanita dari seluruh dunia yang punya kontribusi dalam sejarah: Rosa Luxemburg, Nilda Pinto, Isabella Richaards.
- Haarlem: Di Haarlem jalan Kartini berdekatan dengan jalan Mohammed Hatta, Sutan Sjahrir dan langsung tembus ke jalan Chris Soumokil presiden kedua Republik Maluku Selatan