Membangun Peserta Didik Berkarakter Berbasis Sosio-Kultural
melalui Penanaman Konsep Diri Positif
Oleh: ALI HARSOJO, S.Pd.
Rasional
Salah satu pijakan arah pendidikan di Indonesia adalah lahirnya Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Sisdiknas tersebut pada Bab II Pasal 3 menjelaskan bahwa telah memungkinkan diterapkannya pendidikan karakter pada tingkat SD untuk diintegrasikan pada setiap mata pelajaran dan memperhatikan kondisi lokal/ daerah. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan UU di atas dapat dikemukakan bahwa selain bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, fungsi pendidikan nasional susungguhnya juga diarahkan untuk membentuk watak atau karakter bangsa Indonesia sejak dini, sesuai dengan potensi keunggulan budaya lokal bangsa yang beradab dan bermartabat luhur. Dalam konteks ini peserta didik perlu mengakomodasi segala potensi, termasuk kekayaan sosial-budaya atau sosiokultural yang ada disekitar sekolah. Kekayaan sosial-budaya tersebut menjadi salah satu sumber belajar bagi peserta didik yang perlu dikembangkan.
Sesuai dengan hal tersebut di atas maka diperlukan pengembangan
pembelajaran peserta didik yang memberi
peluang bagi guru untuk mengembangkan muatan karakter yang berbasis
sosial-budaya yang terjadi pada saat proses pembelajaran itu berlangsung, yaitu
pembelajaran yang akomodatif yang ditinjau dari sudut pandang keunggulan lokal
dan berwawasan sosiokultural. Melalui konsep diri positif peserta didik,
diharapkan karakter peserta didik dapat ditumbuhkembangkan dengan berbasis pada
keunggulan lokal dan berwawasan sosiokultural.
Sosio-Kultural
Larson dan Smalley (1972: 39) menggambarkan sociocultural
sebagai sebuah blue print yang menuntun perilaku manusia dalam sebuah
masyarakat dalam kehidupan keluarga. Sociocultural mengatur tingkah
laku seseorang dalam kelompok, membuat seseorang sensitif terhadap status, dan
membantunya mengetahui apa yang diharapkan orang lain terhadap dirinya dan apa
yang akan terjadi jika tidak memenuhi harapan-harapan mereka. Sociocultural
membantu seseorang untuk mengetahui seberapa jauh dirinya dapat berperan
sebagai individu dan apa tanggung jawab dirinya terhadap kelompok.
Sosiokultural (sociocultural) merupakan gagasan-gagasan,
kebiasaan, keterampilan, seni, dan alat yang memberi ciri pada sekelompok orang
tertentu pada waktu tertentu. Sosiokultural adalah sebuah sistem dari pola-pola
terpadu yang mengatur perilaku manusia (Condon 1973: 4). Kenyataan bahwa tidak
ada masyarakat yang ada tanpa sebuah sosial-budaya menggambarkan perlunya sosiokultural
untuk memenuhi kebutuhan psikologi dan biologis tertentu pada manusia. Sosiokultural
menentukan setiap orang sebagai tingkah laku afektif dan kognitif, sebuah template
untuk kehidupan sosial dan perseorangan. Namun, seseorang cenderung merasakan
kenyataan dalam konteks soaial-budayanya sendiri. Dengan demikian jelas bahwa
sosio-kultural, sebagai kondisi wujud dari perilaku yang mendarah daging dan
mode dari persepsi, menjadi sangat penting dalam sebuah kelompok tertentu.
Karakter adalah bagaian dari sosial budaya, dan sosial budaya adalah bagian
dari sebuah karakter. Kedua hal ini terjalin hubugngan erat sehingga seseorang
tidak dapat memisahkan keduanya tanpa kehilangan arti dari keduanya tersebut.
Untuk itu, di dalam pendidikan karakter seseorang harus menyertakan pula
kondisi social budaya yang dimiliki. Robinson-Stuart dan Nocon (1996)
mengumpulkan dan menyatukan beberapa perspektif pada pembelajaran karakter
berwawasan sosial budaya yang dilihat dalam beberapa dekade terakhir ini.
Para ahli mengamati gagasan pembelajaran karakter dengan sedikit
atau tanpa pengertian yang mendalam mengenai norma-norma dan pola-pola
sosial-budaya dari beberapa komunitas. Perspektif yang lain adalah dugaan bahwa
suatu pendidikan karakter dapat menghadirkan kodisi sosial budaya tertentu
sebagai sebuah “fakta”. Robinson-Stuart dan Nocon mengusulkan bahwa para
pelajar bahasa menjalani pembelajaran sosial budaya sebagai sebuah “proses,
yaitu, sebagai cara merasakan, menafsirkan, menafsirkan perasaan, berada di
dunia, dan berhubungan dengan di mana seseorang berada dan dengan siapa
seseorang bertemu” (dalam Brown 2000).
Konsep Diri Peserta
Didik
Pengertian konsep diri banyak dikemukakan para ahli
secara beragam. Mengenal diri sendiri
secara positif merupakan konsep diri. Peserta didik merasa bahwa dirinya sangat berharga,
menghargai diri sendiri seperti apa
adanya, tetapi tidak menunjukkan rasa kekagumannya pada dirinya sendiri dan juga mengharapkan orang lain untuk tidak
menunjukkan rasa kekaguman pada dirinya. Branden mendefinisikan konsep diri sebagai dua aspek yang saling
berhubungan: perasaan kemanjuran personal, dan perasaan berharga/ berarti.
Branden memaparkan bahwa konsep diri adalah mengenal dan memahami pada diri sendiri
dalam menghadapi tantangan dalam
hidup ini, serta merupakan hak untuk sukses dan senang, perasaan menjadi
orang yang berharga dan berguna, berhak mendapatkan sesuatu, dan berhak
menyatakan keinginan dan kebutuhan, memperoleh sesuatu yang sangat berharga dan
menikmati hasil dari kerja kerasnya.
Konsep diri,
adalah aspek kognitif (terkait dengan image diri seseorang) serta biasanya
berhubungan dengan keseluruhan sistem yang rumit, terorganisir, dan dinamis
dari keyakinan, sikap yang telah dipelajari dan pikiran bahwa setiap orang
memiliki kebenaran mengenai jati dirinya. Sebagai sebuah konstruk psikologi,
konsep diri didefinisikan Seifert dan
Hoffnung (1994), sebagai “suatu pemahaman mengenai diri atau ide tentang konsep
diri.“ Santrock (1996) menggunakan istilah konsep diri mengacu pada evaluasi
bidang tertentu dari konsep diri. Sementara itu, Atwater (1987) menyebutkan
bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi
seseorang tentang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang
berhubungan dengan dirinya. Selanjutnya, Atwater mengidentifikasi konsep diri
atas tiga bentuk. Pertama, body image, kesadaran tentang tubuhnya, yaitu
bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan
seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self, yaitu bagaimana orang
lain melihat dirinya ( Desmita,2009).
Menurut
Burns (1982 dalam Desmita, 2009), konsep diri adalah hubungan antara sikap dan
keyakinan tentang diri sendiri. Pemily (dalam Atwater, 1984), mendefisikan
konsep diri sebagai sistem yang dinamis dan kompleks diri keyakinan yang
dimiliki seseorang tentang dirinya, termasuk sikap, perasaan, persepsi,
nilai-nilai dan tingkah laku yang unik dari individu tersebut. Sementara itu,
Cawagas (1983) menjelaskan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan
individu akan dimensi fisiknya,
karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kelebihannya atau
kecakapannya, kegagalannya, dan sebagainya. Berdasarkan pada beberapa definisi
di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang konsep diri
yang mencakup keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya
sendiri.
Dimensi Konsep Diri
Peserta Didik
Calhoun dan
Acocella (1990), menyebutkan dimensi utama dari konsep diri, meliputi: pengetahuan,
pengharapan, dan dimensi penilaian. Paul J. Cenci (1993) menyebutkan
ketiga dimensi konsep diri dengan
istilah: dimensi gambaran diri (sell
image), dimensi penilaian diri (self-evaluation),
dan dimensi cita-cita diri (self-ideal).
Sebagian ahli lain menyebutnya dengan istilah: citra diri, harga diri dan diri
ideal.
Pengetahuan. Dimensi pertama dari konsep diri adalah apa yang
diketahui tentang konsep diri atau penjelasan dari “siapa saya” yang akan
memberi gambaran tentang dirinya. Gambaran diri tersebut pada gilirannya akan membentuk
citra diri. Gambaran diri tersebut merupakan kesimpulan dari: pandangan dalam
berbagai peran yang dipegang, seperti sebagai orangtua, suami atau istri,
karyawan, pelajar, dan seterusnya; pandangan
tentang watak kepribadian yang dirasakan
pada diri sendiri, seperti jujur, setia, gembira, bersahabat, aktif, dan
seterusnya; pandangan tentang sikap yang
ada pada diri sendiri; kemampuan yang dimiliki, kecakapan yang dikuasai, dan
berbagai karakteristik lainnya yang dilihat melekat pada diri sendiri.
Harapan. Dimensi kedua dari konsep diri adalah dimensi harapan diri yang dicita-citakan dimasa depan.
Ketika mempunyai sejumlah pandangan tentang siapa kita sebenarnya, pada saat
yang sama juga mempunyai sejumlah pandangan lain tentang kemungkinan menjadi
apa diri kita di masa mendatang. Singkatnya, diri kita sendiri juga mempunyai
pengharapan bagi diri kita sendiri. Pengharapan ini merupakan diri-ideal (self-ideal)
atau diri yang dicita-citakan. Cita-cita diri (self-ideal) terdiri alas
dambaan, aspirasi, harapan, keinginan, atau menjadi manusia seperti apa yang
diinginkan. Tetapi, yang sering terjadi bahwa cita-cita diri belum tentu sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya dimiliki seseorang. Meskipun demikian,
cita-cita diri akan menentukan konsep
diri dan menjadi faktor paling penting dalam menentukan perilaku seseorang.
Penilaian. Dimensi ketiga
konsep diri adalah penilaian terhadap
diri kita sendiri. Penilaian konsep diri merupakan pandangan tentang harga atau kewajaran sebagai pribadi. Menurut Calhoun dan Acocella
(1990), setiap hari berperan sebagai
penilai tentang diri kita sendiri, menilai apakah kita bertentangan: 1)
pengharapan bagi diri sendiri (saya
dapat menjadi apa), 2) standar yang ditetapkan bagi diri kita sendiri (saya
seharusnya menjadi apa). Hasil dari penilaian tersebut membentuk apa yang
disebut dengan rasa harga diri, yaitu seberapa besar kita menyukai konsep diri.
Orang yang hidup dengan standar dan harapan-harapan untuk dirinya sendiri—yang
menyukai siapa dirinya, apa yang sedang dikerjakannya, dan akan kemana dirinya
- akan memiliki rasa harga diri yang tinggi (high self-esteem).
Sebaliknya, orang yang terlalu jauh dari standar dan harapan-harapannya akan
memiliki rasa harga diri yang rendah (lowself-esteem). Dengan demikian
dapat dipahami bahwa penilaian akan membentuk penerimaan terhadap diri (self-acceptance),
serta harga diri (self-esteem) seseorang.
Karakteristik Konsep Diri Positif Peserta Didik
Konsep diri
terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga
dewasa. Konsep diri tidakterbawa sejak lahir begitu saja. Konsep diri mengalami
proses yang diperoleh dari lingkugan dan pengalaman. Lingkungan, pengalaman,
dan pola asuh orangtua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
pembentukan konsep diri seseorang. Sikap dan respons orangtua serta lingkungan
akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Anak-anak
yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru atau negatif, seperti
perilaku orangtua yang suka memukul, mengabaikan, kurang memberikan kasih
sayang, melecehkan, menghina, tidak berlaku adil, dan seterusnya, ditambah
dengan lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang
negatif. Hal ini adalah karena anak cenderung menilai dirinya berdasarkan apa
yang ia alami dan dapatkan dari lingkungannya. Jika lingkungan memberikan sikap
yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya berharga, sehingga
berkembangan konsep diri yang positif.
Indikator konsep diri positif
dapat dirinci, yaitu: keyakinan atas kemampuannya mengatasi masalah; merasa
setara dengan orang lain; menerima pujian tanpa rasa malu; menyadari, bahwa
setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak
seluruhnya disetujui masyarakat; serta
mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek
kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
D.E. Hamachek (Rakhmat,1986)
menyebutkan sebelas karakteristik peserta didik yang mempunyai konsep diri
positif, yaitu setiap peserta didik:
1.
menyakini
betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia
mempertahankan-nya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tetapi,
dia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila
pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan ia salah.
2.
mampu bertindak
berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan,
atau menyesali tindakannya jika orang tidak menyetujui tindakannya.
3.
tidak menghabiskan
waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang
akan terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang.
4.
memiliki keyakinan
pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia menghadapi
kegagalan atau kemunduran.
5.
merasa sama dengan
orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat
perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang
lain terhadapnya.
6.
sanggup menerima
dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak
bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabat; dan dapat menerima pujian tanpa
berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah.
7.
cenderung menolak
usaha orang lain untuk mendominasinya; dan sanggup mengaku kepada orang lain
bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah
sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai
kepuasan yang mendalam pula.
8.
mampu menikmati
dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan,
ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu.
9.
Ia peka pada
kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama
sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan
orang lain.
Membangun Karakter Berbasis
Sosio-Kultural melalui Konsep Diri
Peserta Didik
Pendidikan
karakter berwawasan sosial budaya adalah suatu proses pembagian makna di antara
perwakilan-perwakilan kehidupan sosial budaya tertentu. Hal ini bersifat
pengalaman, sebuah proses pembelajaran karakter yang terus-menerus bertahun-tahun,
dan menembus secara mendalam pada pola-pola pikir, perasaan dan tindakan
seseorang.
Sosial budaya sebenarnya adalah bagian integral suatu interaksi
antara budaya dan pemikiran. Pola budaya kognitif dan kebebasan terkadang
diisyaratkan secara ekplisit dalam tindakan, contoh gaya prilaku akan menjadi
faktor penentu budaya tertentu. Wilhem Von Humdalk (1767-1835) yang mengklaim
bahwa sosial budaya membentuk karakter seseorang. Pendekatan yang sebenarnya
menggambarkan sebagian apa yang dipresentasikan pada buku, isu, penemuan,
kesimpulan, dan prinsip pembelajaran dan pengajaran karakter, prinsipnya
adalah: a) Motivasi dari dalam merupakan dorongan utama untuk belajar, b)
percaya diri merupakan awal yang penting untuk keberhasilan, c) karakter dan
budaya merupakan suatu jalinan.
Kajian tentang pendidikan karakter dalam hal ini ditujukan pada
subtansi kebermaknaan atau dengan kata lain mengkaji pendidikan karakter dari
sudut pandang fungsi sebagai hakikat. Berdasarkan pendekatan ini, peranan atau kebermaknaan pendidikan
karakter dalam konteks sosial dan konteks budaya sangat penting dan sangat erat
keberadaanya. Untuk itu, materi ajar yang digunakan dalam proses pembelajaran
sekolah dasar di suatu daerah selayaknya dan seyogyanya dikembangkan melalui
pendekatan fungsional dengan mengintegrasikan pendidikan karakter yang
berwawasan sosial dan budaya atau dengan istilah Sociocultural Based
Character Education berbasis pada kearifan dan keunggulan lokal di suatu
daerah kedalam materi pelajaran yang relevan.
Substansi dari proses pengembangan pendidikan karakter dengan
pendekatan sosio-kultural dimulai dengan mengidentifikasi masalah dan kebutuhan
(need analysis), dilanjutkan dengan mengembangkan bahan, dan strategi
pembelajaran (model development), dan diakhiri dengan mengevaluasi
efektivitas dan efisiensinya (evaluation). Sebagai suatu sistem,
pembelajaran karakter memiliki ciri sistem secara umum seperti halnya
sistem-sistem yang lain. Sistem adalah benda, peristiwa, kejadian, atau cara
yang terorganisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang lebih kecil, dan
seluruh bagian tersebut secara bersama-sama berfungsi untuk rnencapai tujuan
tertentu. Setidaknya terdapat empat indikator dari sebuah sistem, yakni: 1) memiliki
atau dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil atau subsistem, 2) setiap
bagian mempunyai fungsi sendiri-sendiri, 3) seluruh bagian itu melakukan fungsi
secara bersama, 4) fungsi bersama tersebut mempunyai tujuan tertentu. (Hamalik,
2005).
Berkaitan dengan pentingnya penanaman karakter untuk menyatu dengan
suatu sistem, proses pembelajaran karakter yang terintegrasi dalam mata pelajaran
diperlukan apresiasi yang mantap dari berbagai pihak, terutama guru dan peserta
didik yang menjadi pelaku sekaligus
sasaran dalam pembelajaran karakter. Selain itu masyarakat juga perlu memahami
pendidikan karakter yang terintegrasi di sekolah, sehingga dapat diterapkan
dalam kehidupan keluarga.
Salah satu upaya tersebut direalisasikan dengan pengembangan materi
ajar pendidikan karakter melalui pendekatan sosiokultural (Sociocultural
Based Character Education). Dengan harapan, pelaksanaan pendidikan
karakter di SD memperhatikan aspek-aspek keunggulan sosial budaya yang ada di
suatu daerah yang kental dengan budaya ramah tamah dan budi pekerti luhur serta
nilai-nilai luhur lainya yang tidak ada di daerah lain. Hal ini sejalan dengan
kurikulum KTSP yang menyatakan bahwa mulok harus dikembangkan dengan
mengakomodir keunggulan dan kearifan lokal di mana pendidikan karakter tersebut
diterapkan.
Konsep diri
merupakan salah satu aspek penting dalam membentuk karakter peserta didik . Konsep diri mempengaruhi perilaku peserta didik dan mempunyai hubungan yang sangat menentukan
proses pendidikan dan prestasi belajar.
Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di
sekolah, diperlukan pembangunan karakter secara tepat kepada peserta didik .
Pembentukan karakter dan budaya pada peserta
didik tidak mesti masuk dalam struktur
kurikulum, tetapi harus tersemai dalam implementasi kurikulum melalui sentuhan
guru. Nilai-nilai yang ditumbuhkembangkan dalam diri peserta didik berupa nilai-nilai dasar yang disepakati
berdasarkan pada agama dan kenegaraan.
Kejujuran, dapat dipercaya, kebersamaan, toleransi, rasa empati,
tanggung jawab, dan peduli kepada orang lain merupakan dimensi -dimensi penting yang harus terus ditumbuhkan untuk
membentuk karakter peserta didik .
Franz
Magnis-Suseno, guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengatakan, bahwa
yang dibutuhkan bukan hanya karakter kuat, tetapi juga benar, positif, dan
konstruktif. Namun, untuk membentuk peserta didik yang berkarakter kuat tidak boleh ada
feodalisme para guru. Jika guru membuat anak menjadi “manutan“ , dan tidak
membantah, karakter anak tidak akan berkembang.
Kalau mengharapkan tumbuhnya karakter, peserta didik itu harus diberi semangat dan didukung agar
ia menjadi pemberani, berani mengambil inisiatif, berani mengusulkan
alternatif, dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda. Ia harus diajarkan
untuk berpikir sendiri.
Pendidikan
karakter sebenarnya merupakan usaha bersama demi penciptaan lingkungan
pendidikan yang lebih menghargai kebebasan dengan menempatkan peserta didik
sebagai subyek, dan sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional
yang bermakna, membudayakan, memberdayakan, dan membangun budaya membaca,
menulis dan berlogika kritis dan konstruktif
sebagai dasar penghormatan nilai-nilai moral. Sasaran utamanya adalah
pertumbuhan penghayatan nilai kebebasan individu sebagai prasyarat utama
perilaku bermoral dan bermartabat.
Konsep diri
perlu sekali dipupuk sejak dini kepada peserta didik. Pengenalan konsep
diri peserta didik dapat dikembangkan
selama belajar di sekolah. Kepercayaan
terhadap kemampuan konsep diri akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan
dinamika yang ada, jika peserta didik dapat mengenal dirinya sendiri dengan
baik . Guru melalui proses pembelajaran
yang dilakukannya sedapat mungkin mengembangkan kemampuan peserta didik dengan
cara dapat mengenal dirinya sendiri; dan pada gilirannnya dapat menggunakannya
untuk kepentingan masa depannya sendiri. Melalui upaya guru, diharapkan peserta
didik dapat mengenal kekurangan dan kelebihan dirinya serta bersikap arif
terhadap dirinya sendiri.
Strategi yang memungkinkan terjadinya peningkatan konsep
diri peserta didik melalui proses
pembelajaran sebagaimana diungkap
Desmita (2009) sebagai berikut:
1.
Membuat peserta
didik merasa mendapat dukungan dari guru. Dalam mengembangkan konsep diri yang positif, peserta
didik perlu mendapat dukungan dari guru.
Dukungan guru ini dapat ditunjukkan dalam bentuk dukungan emosional (emotional
support), seperti ungkapan empati, kepedulian, perhatian, dan umpan balik,
dan dapat pula berupa dukungan penghargaan (esteem support), seperti
melalui ungkapan hormat (penghargaan) positif terhadap peserta didik , dorongan
untuk maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan peserta didik dan perbandingan positif antara satu peserta
didik dengan peserta didik lain. Bentuk dukungan ini memungkinkan peserta
didik untuk maju membangun perasaan
memiliki harga diri, memiliki kemampuan dan kemauan untuk mempertahankan serta
mengaplikasikan budaya lokal dalam kehidupannya.
2.
Membuat peserta
didik merasa bertanggungjawab. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk membuat keputusan sendiri atas
perilakunya dapat diartikan sebagai upaya guru untuk memberi tanggung jawab
kepada peserta didik . Tanggung jawab ini akan mengarahkan sikap positif peserta
didik terhadap konsep diri, yang
diwujudkan dengan usaha pencapaian prestasi belajar yang tinggi serta
peningkatan integritas dalam menghadapi tekanan sosial. Hal ini menunjukkan
pula adanya pengharapan guru terhadap perilaku peserta didik , sehingga peserta
didik merasa dirinya mempunyai peranan
dan diikutsertakan dalam kegiatan pendidikan. Dengan semangat yang ada, peserta
didik mampu menampilkan pola hidup yang mencerminkan budaya lokal yang telah mendarahdaging
setelah guru mampu menumbuhkannya pada diri siswa.
3.
Membuat peserta
didik merasa mampu. Ini dapat dilakukan dengan cara menunjukkan sikap dan
pandangan yang positif terhadap kemampuan yang dimiliki peserta didik . Guru
harus berpandangan bahwa semua peserta didik pada dasarnya memiliki kemampuan, hanya saja
mungkin belum dikembangkan. Dengan sikap dan pandangan positif terhadap
kemampuan peserta didik ini, maka peserta
didik juga akan berpandangan positif
terhadap kemampuan dirinya. Peserta didik mampu mengendalikan diri, menunjukkan
prestasinya serta mampu bersikap dengan karakter positif sesuai budaya lokal
setempat.
4.
Mengarahkan peserta
didik untuk mencapai tujuan yang
realistis. Dalam upaya meningkatkan konsep diri peserta didik ,
guru harus membentuk peserta didik untuk
menetapkan tujuan yang hendak dicapai serealistis mungkin, yakni tujuan yang
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Penetapan tujuan yang realistis ini
dapat dilakukan dengan mengacu pada pencapaian prestasi di masa lampau. Dengan
bersandar pada keberhasilan masa lampau, maka pencapaian prestasi sudah dapat
diramalkan, sehingga peserta didik akan
terbantu untuk bersikap positif terhadap kemampuan dirinya sendiri.
5.
Membantu peserta
didik menilai diri mereka secara
realistis. pada saat mengalami kegagalan, adakalanya peserta didik
menilainya secara negatif, dengan
memandang dirinya sebagai orang yang tidak mampu. Untuk menghindari penilaian
yang negatif dari peserta didik tersebut, guru perlu membantu peserta didik menilai prestasi mereka secara realistis, yang
membantu rasa percaya akan kemampuan mereka dalam menghadapi tugas-tugas
sekolah dan meningkatkan prestasi belajar di kemudian hari. Salain satu cara
membantu peserta didik menilai diri
mereka secara realistis adalah dengan membandingkan prestasi peserta didik pada masa lampau dan prestasi peserta didik saat ini. Hal ini pada gilirannya dapat
membangkitkan motivasi, minat, dan sikap peserta didik terhadap seluruh tugas di sekolah.
6.
Mendorong peserta
didik agar bangga dengan dirinya secara
realistis. Upaya lain yang harus dilakukan guru dalam membantu
mengembangkan konsep diri peserta didik adalah dengan memberikan dorongan
kepada peserta didik agar bangga dengan
prestasi yang telah dicapainya. Ini adalah penting, karena perasaan bangga atas
prestasi yang dicapai merupakan salah satu kunci untuk menjadi lebih positif
dalam memandang kemampuan yang dimiliki. Guru tidak mendiskriminasi peserta
didik yang dapat membunuh karakter peserta didik. Akan tetapi guru mampu
mendorong peserta didik untuk dapat menghargai dirinya sendiri yang
berimplikasi pada peningkatan percaya diri, kemampuan dan sikap serta mental
positif peserta didi.