Rabu, 29 Mei 2013

Membangun Peserta Didik Berkarakter Berbasis Sosio-Kultural melalui Penanaman Konsep Diri Positif


Membangun Peserta Didik Berkarakter Berbasis Sosio-Kultural 
melalui Penanaman Konsep Diri Positif 

Oleh: ALI HARSOJO, S.Pd.
GURU SDN AENGANYAR I KECAMATAN GILIGENTING

Rasional

Salah satu pijakan arah pendidikan di Indonesia adalah lahirnya Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Sisdiknas tersebut pada Bab II Pasal 3 menjelaskan bahwa telah memungkinkan diterapkannya pendidikan karakter pada tingkat SD untuk diintegrasikan pada setiap mata pelajaran dan memperhatikan kondisi lokal/ daerah. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan UU di atas dapat dikemukakan bahwa selain bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, fungsi pendidikan nasional susungguhnya juga diarahkan untuk membentuk watak atau karakter bangsa Indonesia sejak dini, sesuai dengan potensi keunggulan budaya lokal bangsa yang beradab dan bermartabat luhur. Dalam konteks ini peserta didik perlu mengakomodasi segala potensi, termasuk kekayaan sosial-budaya atau sosiokultural yang ada disekitar sekolah. Kekayaan sosial-budaya tersebut menjadi salah satu sumber belajar bagi peserta didik  yang perlu dikembangkan.
Sesuai dengan hal tersebut di atas maka diperlukan pengembangan pembelajaran peserta didik  yang memberi peluang bagi guru untuk mengembangkan muatan karakter yang berbasis sosial-budaya yang terjadi pada saat proses pembelajaran itu berlangsung, yaitu pembelajaran yang akomodatif yang ditinjau dari sudut pandang keunggulan lokal dan berwawasan sosiokultural. Melalui konsep diri positif peserta didik, diharapkan karakter peserta didik dapat ditumbuhkembangkan dengan berbasis pada keunggulan lokal dan berwawasan sosiokultural.

Sosio-Kultural
Larson dan Smalley (1972: 39) menggambarkan sociocultural sebagai sebuah blue print yang menuntun perilaku manusia dalam sebuah masyarakat dalam kehidupan keluarga. Sociocultural mengatur tingkah laku seseorang dalam kelompok, membuat seseorang sensitif terhadap status, dan membantunya mengetahui apa yang diharapkan orang lain terhadap dirinya dan apa yang akan terjadi jika tidak memenuhi harapan-harapan mereka. Sociocultural membantu seseorang untuk mengetahui seberapa jauh dirinya dapat berperan sebagai individu dan apa tanggung jawab dirinya terhadap kelompok.
Sosiokultural (sociocultural) merupakan gagasan-gagasan, kebiasaan, keterampilan, seni, dan alat yang memberi ciri pada sekelompok orang tertentu pada waktu tertentu. Sosiokultural adalah sebuah sistem dari pola-pola terpadu yang mengatur perilaku manusia (Condon 1973: 4). Kenyataan bahwa tidak ada masyarakat yang ada tanpa sebuah sosial-budaya menggambarkan perlunya sosiokultural untuk memenuhi kebutuhan psikologi dan biologis tertentu pada manusia. Sosiokultural menentukan setiap orang sebagai tingkah laku afektif dan kognitif, sebuah template untuk kehidupan sosial dan perseorangan. Namun, seseorang cenderung merasakan kenyataan dalam konteks soaial-budayanya sendiri. Dengan demikian jelas bahwa sosio-kultural, sebagai kondisi wujud dari perilaku yang mendarah daging dan mode dari persepsi, menjadi sangat penting dalam sebuah kelompok tertentu. Karakter adalah bagaian dari sosial budaya, dan sosial budaya adalah bagian dari sebuah karakter. Kedua hal ini terjalin hubugngan erat sehingga seseorang tidak dapat memisahkan keduanya tanpa kehilangan arti dari keduanya tersebut. Untuk itu, di dalam pendidikan karakter seseorang harus menyertakan pula kondisi social budaya yang dimiliki. Robinson-Stuart dan Nocon (1996) mengumpulkan dan menyatukan beberapa perspektif pada pembelajaran karakter berwawasan sosial budaya yang dilihat dalam beberapa dekade terakhir ini.
Para ahli mengamati gagasan pembelajaran karakter dengan sedikit atau tanpa pengertian yang mendalam mengenai norma-norma dan pola-pola sosial-budaya dari beberapa komunitas. Perspektif yang lain adalah dugaan bahwa suatu pendidikan karakter dapat menghadirkan kodisi sosial budaya tertentu sebagai sebuah “fakta”. Robinson-Stuart dan Nocon mengusulkan bahwa para pelajar bahasa menjalani pembelajaran sosial budaya sebagai sebuah “proses, yaitu, sebagai cara merasakan, menafsirkan, menafsirkan perasaan, berada di dunia, dan berhubungan dengan di mana seseorang berada dan dengan siapa seseorang bertemu” (dalam Brown 2000).
Konsep Diri Peserta Didik
Pengertian  konsep diri banyak dikemukakan para ahli secara beragam. Mengenal diri sendiri  secara positif merupakan konsep diri. Peserta didik  merasa bahwa dirinya sangat berharga, menghargai  diri sendiri seperti apa adanya, tetapi tidak menunjukkan rasa kekagumannya pada dirinya sendiri dan  juga mengharapkan orang lain untuk tidak menunjukkan rasa kekaguman pada dirinya. Branden mendefinisikan  konsep diri sebagai dua aspek yang saling berhubungan: perasaan kemanjuran personal, dan perasaan berharga/ berarti. Branden memaparkan bahwa konsep diri adalah mengenal dan memahami pada  diri sendiri  dalam menghadapi tantangan  dalam hidup ini, serta  merupakan  hak untuk sukses dan senang, perasaan menjadi orang yang berharga dan berguna, berhak mendapatkan sesuatu, dan berhak menyatakan keinginan dan kebutuhan, memperoleh sesuatu yang sangat berharga dan menikmati hasil dari kerja kerasnya.
Konsep diri, adalah aspek kognitif  (terkait dengan image diri seseorang) serta biasanya berhubungan dengan keseluruhan sistem yang rumit, terorganisir, dan dinamis dari keyakinan, sikap yang telah dipelajari dan pikiran bahwa setiap orang memiliki kebenaran mengenai jati dirinya. Sebagai sebuah konstruk psikologi, konsep diri didefinisikan  Seifert dan Hoffnung (1994), sebagai “suatu pemahaman mengenai diri atau ide tentang konsep diri.“ Santrock (1996) menggunakan istilah konsep diri mengacu pada evaluasi bidang tertentu dari konsep diri. Sementara itu, Atwater (1987) menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya. Selanjutnya, Atwater mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image, kesadaran tentang tubuhnya, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self, yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya ( Desmita,2009).
Menurut Burns (1982 dalam Desmita, 2009), konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri  sendiri.  Pemily (dalam Atwater, 1984), mendefisikan konsep diri sebagai sistem yang dinamis dan kompleks diri keyakinan yang dimiliki seseorang tentang dirinya, termasuk sikap, perasaan, persepsi, nilai-nilai dan tingkah laku yang unik dari individu tersebut. Sementara itu, Cawagas (1983) menjelaskan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi  fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kelebihannya atau kecakapannya, kegagalannya, dan sebagainya. Berdasarkan pada beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang konsep diri yang mencakup keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri.

Dimensi Konsep Diri Peserta Didik
Calhoun dan Acocella (1990), menyebutkan dimensi  utama dari konsep diri, meliputi:  pengetahuan,  pengharapan, dan dimensi  penilaian. Paul J. Cenci (1993) menyebutkan ketiga dimensi  konsep diri dengan istilah: dimensi  gambaran diri (sell image), dimensi  penilaian diri (self-evaluation), dan dimensi  cita-cita diri (self-ideal). Sebagian ahli lain menyebutnya dengan istilah: citra diri, harga diri dan diri ideal.
Pengetahuan. Dimensi  pertama dari konsep diri adalah apa yang diketahui tentang konsep diri atau penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberi gambaran tentang dirinya. Gambaran diri tersebut pada gilirannya akan membentuk citra diri. Gambaran diri tersebut merupakan kesimpulan dari: pandangan dalam berbagai peran yang dipegang, seperti sebagai orangtua, suami atau istri, karyawan, pelajar, dan seterusnya; pandangan  tentang watak kepribadian yang dirasakan  pada diri sendiri, seperti jujur, setia, gembira, bersahabat, aktif, dan seterusnya; pandangan  tentang sikap yang ada pada diri sendiri; kemampuan yang dimiliki, kecakapan yang dikuasai, dan berbagai karakteristik lainnya yang dilihat melekat pada diri sendiri.
Harapan. Dimensi  kedua dari konsep diri adalah dimensi  harapan diri yang dicita-citakan dimasa depan. Ketika mempunyai sejumlah pandangan tentang siapa kita sebenarnya, pada saat yang sama juga mempunyai sejumlah pandangan lain tentang kemungkinan menjadi apa diri kita di masa mendatang. Singkatnya, diri kita sendiri juga mempunyai pengharapan bagi diri kita sendiri. Pengharapan ini merupakan diri-ideal (self-ideal) atau diri yang dicita-citakan. Cita-cita diri (self-ideal) terdiri alas dambaan, aspirasi, harapan, keinginan, atau menjadi manusia seperti apa yang diinginkan. Tetapi, yang sering terjadi bahwa cita-cita diri belum tentu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya dimiliki seseorang. Meskipun demikian, cita-cita diri  akan menentukan konsep diri dan menjadi faktor paling penting dalam menentukan perilaku seseorang.
Penilaian. Dimensi  ketiga konsep diri adalah penilaian  terhadap diri kita sendiri. Penilaian konsep diri merupakan pandangan  tentang harga atau kewajaran  sebagai pribadi. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), setiap hari  berperan sebagai penilai tentang diri kita sendiri, menilai apakah kita bertentangan: 1) pengharapan bagi diri  sendiri (saya dapat menjadi apa), 2) standar yang ditetapkan bagi diri kita sendiri (saya seharusnya menjadi apa). Hasil dari penilaian tersebut membentuk apa yang disebut dengan rasa harga diri, yaitu seberapa besar kita menyukai konsep diri. Orang yang hidup dengan standar dan harapan-harapan untuk dirinya sendiri—yang menyukai siapa dirinya, apa yang sedang dikerjakannya, dan akan kemana dirinya - akan memiliki rasa harga diri yang tinggi (high self-esteem). Sebaliknya, orang yang terlalu jauh dari standar dan harapan-harapannya akan memiliki rasa harga diri yang rendah (lowself-esteem). Dengan demikian dapat dipahami bahwa penilaian akan membentuk penerimaan terhadap diri (self-acceptance), serta harga diri (self-esteem) seseorang.
Karakteristik  Konsep Diri Positif Peserta Didik
Konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga dewasa. Konsep diri tidakterbawa sejak lahir begitu saja. Konsep diri mengalami proses yang diperoleh dari lingkugan dan pengalaman. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orangtua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Sikap dan respons orangtua serta lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru atau negatif, seperti perilaku orangtua yang suka memukul, mengabaikan, kurang memberikan kasih sayang, melecehkan, menghina, tidak berlaku adil, dan seterusnya, ditambah dengan lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini adalah karena anak cenderung menilai dirinya berdasarkan apa yang ia alami dan dapatkan dari lingkungannya. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya berharga, sehingga berkembangan konsep diri yang positif.
Indikator konsep diri positif dapat dirinci, yaitu: keyakinan atas kemampuannya mengatasi masalah; merasa setara dengan orang lain; menerima pujian tanpa rasa malu; menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat; serta  mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
D.E. Hamachek (Rakhmat,1986) menyebutkan sebelas karakteristik peserta didik yang mempunyai konsep diri positif, yaitu setiap peserta didik:
1.      menyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankan-nya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tetapi, dia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan ia salah.
2.      mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang tidak menyetujui tindakannya.
3.      tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang akan terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang.
4.      memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran.
5.      merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya.
6.      sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabat; dan dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah.
7.      cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya; dan sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.
8.      mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu.
9.      Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain.
Membangun Karakter Berbasis Sosio-Kultural melalui  Konsep Diri Peserta Didik
Pendidikan karakter berwawasan sosial budaya adalah suatu proses pembagian makna di antara perwakilan-perwakilan kehidupan sosial budaya tertentu. Hal ini bersifat pengalaman, sebuah proses pembelajaran karakter yang terus-menerus bertahun-­tahun, dan menembus secara mendalam pada pola-pola pikir, perasaan dan tindakan seseorang.
Sosial budaya sebenarnya adalah bagian integral suatu interaksi antara budaya dan pemikiran. Pola budaya kognitif dan kebebasan terkadang diisyaratkan secara ekplisit dalam tindakan, contoh gaya prilaku akan menjadi faktor penentu budaya tertentu. Wilhem Von Humdalk (1767-1835) yang mengklaim bahwa sosial budaya membentuk karakter seseorang. Pendekatan yang sebenarnya menggambarkan sebagian apa yang dipresentasikan pada buku, isu, penemuan, kesimpulan, dan prinsip pembelajaran dan pengajaran karakter, prinsipnya adalah: a) Motivasi dari dalam merupakan dorongan utama untuk belajar, b) percaya diri merupakan awal yang penting untuk keberhasilan, c) karakter dan budaya merupakan suatu jalinan.
Kajian tentang pendidikan karakter dalam hal ini ditujukan pada subtansi kebermaknaan atau dengan kata lain mengkaji pendidikan karakter dari sudut pandang fungsi sebagai hakikat. Berdasarkan pendekatan  ini, peranan atau kebermaknaan pendidikan karakter dalam konteks sosial dan konteks budaya sangat penting dan sangat erat keberadaanya. Untuk itu, materi ajar yang digunakan dalam proses pembelajaran sekolah dasar di suatu daerah selayaknya dan seyogyanya dikembangkan melalui pendekatan fungsional dengan mengintegrasikan pendidikan karakter yang berwawasan sosial dan budaya atau dengan istilah Sociocultural Based Character Education berbasis pada kearifan dan keunggulan lokal di suatu daerah kedalam materi pelajaran yang relevan.
Substansi dari proses pengembangan pendidikan karakter dengan pendekatan sosio-kultural dimulai dengan mengidentifikasi masalah dan kebutuhan (need analysis), dilanjutkan dengan mengembangkan bahan, dan strategi pembelajaran (model development), dan diakhiri dengan mengevaluasi efektivitas dan efisiensinya (evaluation). Sebagai suatu sistem, pembelajaran karakter memiliki ciri sistem secara umum seperti halnya sistem-sistem yang lain. Sistem adalah benda, peristiwa, kejadian, atau cara yang terorganisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang lebih kecil, dan seluruh bagian tersebut secara bersama-sama berfungsi untuk rnencapai tujuan tertentu. Setidaknya terdapat empat indikator dari sebuah sistem, yakni: 1) memiliki atau dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil atau subsistem, 2) setiap bagian mempunyai fungsi sendiri-sendiri, 3) seluruh bagian itu melakukan fungsi secara bersama, 4) fungsi bersama tersebut mempunyai tujuan tertentu. (Hamalik, 2005).
Berkaitan dengan pentingnya penanaman karakter untuk menyatu dengan suatu sistem, proses pembelajaran karakter yang terintegrasi dalam mata pelajaran diperlukan apresiasi yang mantap dari berbagai pihak, terutama guru dan peserta didik  yang menjadi pelaku sekaligus sasaran dalam pembelajaran karakter. Selain itu masyarakat juga perlu memahami pendidikan karakter yang terintegrasi di sekolah, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan keluarga.
Salah satu upaya tersebut direalisasikan dengan pengembangan materi ajar pendidikan karakter melalui pendekatan sosiokultural (Sociocultural Based Character Education). Dengan harapan, pelaksanaan pendidikan karakter di SD memperhatikan aspek-aspek keunggulan sosial budaya yang ada di suatu daerah yang kental dengan budaya ramah tamah dan budi pekerti luhur serta nilai-nilai luhur lainya yang tidak ada di daerah lain. Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP yang menyatakan bahwa mulok harus dikembangkan dengan mengakomodir keunggulan dan kearifan lokal di mana pendidikan karakter tersebut diterapkan.
Konsep diri merupakan salah satu aspek penting dalam membentuk karakter  peserta didik . Konsep diri mempengaruhi perilaku peserta didik  dan mempunyai hubungan yang sangat menentukan proses pendidikan dan prestasi belajar.  Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah, diperlukan pembangunan karakter secara tepat kepada peserta didik . Pembentukan karakter dan bu­daya  pada peserta didik  tidak mesti masuk dalam struktur kurikulum, tetapi harus tersemai dalam implementasi kurikulum melalui sentuhan guru. Nilai-nilai yang ditumbuhkembangkan da­lam diri peserta didik  berupa nilai-nilai dasar yang disepakati berdasarkan pada agama dan kenegaraan.  Kejujuran, dapat dipercaya, ke­bersamaan, toleransi, rasa empati, tanggung jawab, dan peduli kepada orang lain merupakan dimensi -dimensi  penting yang harus terus ditumbuhkan untuk membentuk karakter peserta didik .
Franz Magnis-Suseno, guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengatakan, bahwa yang di­butuhkan bukan hanya karakter kuat, tetapi juga benar, positif, dan konstruktif. Namun, untuk membentuk peserta didik   yang berkarakter kuat tidak boleh ada feodalisme para guru. Jika guru membuat anak menjadi “manutan“ , dan tidak membantah, karakter anak tidak akan berkembang.  Kalau  mengharapkan tumbuhnya  ka­rakter, peserta didik  itu harus diberi se­mangat dan didukung agar ia menjadi pemberani, berani mengambil inisiatif, berani mengusulkan alternatif, dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda. Ia harus diajarkan untuk berpikir sendiri.
Pendidikan karakter sebenarnya merupakan usaha bersama demi penciptaan lingkungan pendidikan yang lebih menghargai kebebasan dengan menempatkan peserta didik sebagai subyek, dan sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional yang bermakna, membudayakan, memberdayakan, dan membangun budaya membaca, menulis dan berlogika kritis dan konstruktif  sebagai dasar penghormatan nilai-nilai moral. Sasaran utamanya adalah pertumbuhan penghayatan nilai kebebasan individu sebagai prasyarat utama perilaku bermoral dan bermartabat.
Konsep diri perlu sekali dipupuk sejak dini kepada peserta didik. Pengenalan konsep diri  peserta didik dapat dikembangkan selama belajar di sekolah.  Kepercayaan terhadap kemampuan konsep diri akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan dinamika yang ada, jika peserta didik dapat mengenal dirinya sendiri dengan baik .  Guru melalui proses pembelajaran yang dilakukannya sedapat mungkin mengembangkan kemampuan peserta didik dengan cara dapat mengenal dirinya sendiri; dan pada gilirannnya dapat menggunakannya untuk kepentingan masa depannya sendiri. Melalui upaya guru, diharapkan peserta didik dapat mengenal kekurangan dan kelebihan dirinya serta bersikap arif terhadap dirinya sendiri.
 Strategi yang memungkinkan terjadinya peningkatan konsep diri peserta didik  melalui proses pembelajaran sebagaimana diungkap  Desmita (2009)  sebagai berikut:
1.      Membuat peserta didik  merasa mendapat dukungan dari guru. Dalam mengembangkan konsep diri yang positif, peserta didik  perlu mendapat dukungan dari guru. Dukungan guru ini dapat ditunjukkan dalam bentuk dukungan emosional (emotional support), seperti ungkapan empati, kepedulian, perhatian, dan umpan balik, dan dapat pula berupa dukungan penghargaan (esteem support), seperti melalui ungkapan hormat (penghargaan) positif terhadap peserta didik , dorongan untuk maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan peserta didik  dan perbandingan positif antara satu peserta didik  dengan peserta didik  lain. Bentuk dukungan ini memungkinkan peserta didik  untuk maju membangun perasaan memiliki harga diri, memiliki kemampuan dan kemauan untuk mempertahankan serta mengaplikasikan budaya lokal dalam kehidupannya.
2.      Membuat peserta didik  merasa bertanggungjawab. Memberi kesempatan kepada peserta didik  untuk membuat keputusan sendiri atas perilakunya dapat diartikan sebagai upaya guru untuk memberi tanggung jawab kepada peserta didik . Tanggung jawab ini akan mengarahkan sikap positif peserta didik  terhadap konsep diri, yang diwujudkan dengan usaha pencapaian prestasi belajar yang tinggi serta peningkatan integritas dalam menghadapi tekanan sosial. Hal ini menunjukkan pula adanya pengharapan guru terhadap perilaku peserta didik , sehingga peserta didik  merasa dirinya mempunyai peranan dan diikutsertakan dalam kegiatan pendidikan. Dengan semangat yang ada, peserta didik mampu menampilkan pola hidup yang mencerminkan budaya lokal yang telah mendarahdaging setelah guru mampu menumbuhkannya pada diri siswa.
3.      Membuat peserta didik  merasa mampu. Ini dapat dilakukan dengan cara menunjukkan sikap dan pandangan yang positif terhadap kemampuan yang dimiliki peserta didik . Guru harus berpandangan bahwa semua peserta didik  pada dasarnya memiliki kemampuan, hanya saja mungkin belum dikembangkan. Dengan sikap dan pandangan positif terhadap kemampuan peserta didik  ini, maka peserta didik  juga akan berpandangan positif terhadap kemampuan dirinya. Peserta didik mampu mengendalikan diri, menunjukkan prestasinya serta mampu bersikap dengan karakter positif sesuai budaya lokal setempat.
4.      Mengarahkan peserta didik  untuk mencapai tujuan yang realistis. Dalam upaya meningkatkan konsep diri peserta didik , guru harus membentuk peserta didik  untuk menetapkan tujuan yang hendak dicapai serealistis mungkin, yakni tujuan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Penetapan tujuan yang realistis ini dapat dilakukan dengan mengacu pada pencapaian prestasi di masa lampau. Dengan bersandar pada keberhasilan masa lampau, maka pencapaian prestasi sudah dapat diramalkan, sehingga peserta didik  akan terbantu untuk bersikap positif terhadap kemampuan dirinya sendiri.
5.      Membantu peserta didik  menilai diri mereka secara realistis. pada saat mengalami kegagalan, adakalanya peserta didik  menilainya secara negatif, dengan memandang dirinya sebagai orang yang tidak mampu. Untuk menghindari penilaian yang negatif dari peserta didik  tersebut, guru perlu membantu peserta didik  menilai prestasi mereka secara realistis, yang membantu rasa percaya akan kemampuan mereka dalam menghadapi tugas-tugas sekolah dan meningkatkan prestasi belajar di kemudian hari. Salain satu cara membantu peserta didik  menilai diri mereka secara realistis adalah dengan membandingkan prestasi peserta didik  pada masa lampau dan prestasi peserta didik  saat ini. Hal ini pada gilirannya dapat membangkitkan motivasi, minat, dan sikap peserta didik  terhadap seluruh tugas di sekolah.
6.      Mendorong peserta didik  agar bangga dengan dirinya secara realistis. Upaya lain yang harus dilakukan guru dalam membantu mengembangkan konsep diri peserta didik adalah dengan memberikan dorongan kepada peserta didik  agar bangga dengan prestasi yang telah dicapainya. Ini adalah penting, karena perasaan bangga atas prestasi yang dicapai merupakan salah satu kunci untuk menjadi lebih positif dalam memandang kemampuan yang dimiliki. Guru tidak mendiskriminasi peserta didik yang dapat membunuh karakter peserta didik. Akan tetapi guru mampu mendorong peserta didik untuk dapat menghargai dirinya sendiri yang berimplikasi pada peningkatan percaya diri, kemampuan dan sikap serta mental positif peserta didi.

Baca juga tulisan menarik lainnya

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar :

Posting Komentar