Membangun Karakter Peserta Didik
Melalui Pendidikan Berkearifan Lokal
Oleh:
Ardiyansah Yuliniar Firdaus, S.Pd.
Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Bangkalan
Calon Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya
I. Pendahuluan
Pendidikan karakter saat ini
memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses
pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter inipun diharapkan mampu
menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Dalam UU No 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selanjutnya pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan
informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam
keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya
sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik
berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek
kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap
hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini,
pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan
kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan
karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang
relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di
lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh
media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan
pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu
memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga
dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik
di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat
dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .
Dengan
demikian jelas sekali bahwa fungsi dan tujuan pendidikan di setiap jenjang
berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing,
beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Hal ini
dapat dibuktikan dari hasil penelitian di Harvard University Amerika Serikat
(Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja,
tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Penelitian ini mengungkapkan, bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20
persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill.
Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak
didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini
mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting
untuk ditingkatkan. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,
dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat.
Oleh
karena itu Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Prof.dr.Fasli Jalal, Ph.D Pada tanggal
1 Juni 2010 dalam acara Rembuk Nasional dengan tema “ Membangun
Karakter Bangsa dengan Berwawasan Kebangsaan”. yang digelar di Balai Pertemuan
UPI ini, dan dibidani oleh Pusat Kajian Nasional Pendidikan Pancasila dan
Wawasan Kebangsaan UPI Bandung, mengungkapkan arti penting pendidikan karakter
bagi bangsa dan negara. Beliau menjelaskan bahwa pendidikan karakter sangat
erat dan dilatar belakangi oleh keinginan mewujudkan konsensus nasional yang
berparadigma Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas
melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi “
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta
bertanggung jawab.”
Dari bunyi pasal
tersebut, Wamendiknas mengungkapkan bahwa telah terdapat 5 dari 8 potensi
peserta didik yang implementasinya sangat lekat dengan tujuan pembentukan
pendidikan karakter. Kelekatan inilah yang menjadi dasar hukum begitu
pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter. Wamendiknas pun mengatakan bahwa,
pada dasarnya pembentukan karakter itu dimulai dari fitrah yang diberikan
Ilahi, yang kemudian membentuk jati diri dan prilaku. Dalam prosesnya sendiri
fitrah Ilahi ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga
lingkungan memilki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan
prilaku. Oleh karena itu Wamendiknas mengatakan bahwasanya sekolah sebagai
bagian dari lingkungan memiliki peranan yang sangat penting. Wamendiknas
menganjurkan agar setiap sekolah dan seluruh lembaga pendidikan memiliki school
culture , dimana setiap sekolah memilih pendisiplinan dan kebiasaan
mengenai karakter yang akan dibentuk. Lebih lanjut Wamendiknas pun berpesan,
agar para pemimpin dan pendidik lembaga pendidikan tersebut dapat mampu
memberikan suri teladan mengenai karakter tersebut.
Wamendiknas juga
mengatakan bahwa hendaknya pendidikan karakter ini tidak dijadikan kurikulum
yang baku, melainkan dibiasakan melalui proses pembelajaran. Selain itu
mengenai sarana-prasaran, pendidikan karakter ini tidak memiliki
sarana-prasarana yang istimewa, karena yang diperlukan adalah proses penyadaran
dan pembiasaan.
Definisi Pendidikan Karakter
Seiring dengan digalakkannya
pendidikan karakter, karakter itu sendiri mulai banyak dibicarakan dalam dunia
pendidikan. Para ahli telah mendefinisikan beberapa pengertian dari karakter
itu sesuai dengan kapabilitas keilmuan masing-masing. Di bawah ini akan
dijelaskan secara jelas apa pengertian dari karakter itu sendiri.
Menurut kamus umum bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yag lain;
tabiat; watak. Berkarakter artinya mempunyai tabiat; mempunyai kepribadian;
watak (W. J. S Poerwadarminta. 1926: 669).
Hermawan Kertajaya mengemukakan bahwa karakter adalah “ciri khas” yang
dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah “asli” dan
mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut. Dan merupakan “mesin”
yang mendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar dan merespons
sesuatu. Ciri khas inipun yang diingat oleh orang lain tentang orang tersebut
dan menentukan suka atau tidak sukanya mereka terhadap sang individu. Karakter
memungkinkan perusahaan atau individu mencapai pertumbuhan yang
berkesinambungan karena karakter memberikan konsistensi, integritas dan energy
(M. Furqon Hidayatullah. 2010: 13).
Sedangkan menurut Hamka karakter adalah watak atau sifat, fitrah yang ada
pada diri manusia. Sebagai contoh sederhana adalah kayu yang ada di hutan, yang
masih berupa pohon-pohon adalah karakter. Sedangkan kayu yang sudah menjadi
bangku, meja, lemari, dan sebagainya adalah komoditas. Pada hakikatnya semua
adalah kayu hutan. Bedanya, kayu yang masih ada di hutan belum dicemari oleh
gergaji, mesin, bahan atau zat kimia tertentu dan lain sebagainya. Sedangkan
kayu yang sudah menjadi komoditas; meja, kursi, lemari dan sebagainya, sudah
dikemas oleh “polesan dunia” berupa berbagai macam bentuk, desain, fungsi, dan
zat kimia yang menempel pada kayu tersebut (Hamka Abdul Aziz. 2011: 73).
Karakter (character) mengacu
pada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap
seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual
seperti berpikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan
bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh
ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang
berinteraksi secara efektif dalam
berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan
masyarakatnya. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai
individu (intelektual, sosial, emosional, dan etika. Individu yang berkarakter
baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal yang terbaik (Victor Battistich.
2007)
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan istilah karakter, diantaranya
yaitu:
a.
Karakter:
watak atau sifat, fitrah yang ada pada diri manusia yang terikat dengan nilai
hukum dan ketentuan tuhan. Bersemayam dalam diri seseorang sejak kelahirannya.
Tidak bisa berubah, meski apapun yang terjadi. Bisa tertutupi dengan berbagai
kondisi (Hamka Abdul Aziz. 2011: 48).
b.
Tabiat:
sifat, kelakuan, perangai, kejiwaan seseorang yang bisa berubah-ubah karena
interaksi sosial dan sangat dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan. Sifat dalam diri
yang terbentuk oleh manusia yanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan (M.
Furqon Hidayatullah. 2010: 11).
c.
Adat: sifat
dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni berdasarkan
keinginan.
d.
Kepribadian:
tingkah laku atau perangai sebagai hasil bentukan dari pendidikan dan
pengajaran baik secara klasikal atau non formal. Bersifat tidak abadi, jarena
selalu berhubungan dengan lingkungan (Hamka Abdul Aziz. 2011: 50).
e.
Identitas:
alat bantu untuk mengenali sesuatu. Sesuatu yang bisa digunakan untuk mengenali
manusia.
f.
Moral:
ajaran tentang budi pekerti, mulia, ajaran kesusilaan. Moralitas adal adat
istiadat, span santun, dan perilaku (Bambang Mahirjanto. 1995: 414).
g.
Watak: sifat
batin manusia yang mempengaruhi pikiran dan prilaku. Cakupannya meliputi
hal-hal yang menjadi tabiat dan hal0hal yang diupayakan hingga menjadi adat
(Bambang Mahirjanto. 1995: 572).
h.
Etika: ilmu
tentang akhlak dan tata kesopanan; peradaban atau kesusilaan. Menurut Ngainum
dan Achmad yaitu, Pertama; nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya,
merupakan “sistem nilai” yang bisa berfungsi dalam kehidupan seseorang atau
kelompok sosial. Kedua; kumpulan asas atau nilai moral, atau kode etik. Ketiga;
ilmu tentang baik dan buruk (Ngainun Naim dan Achmad Sauqi: 113).
i.
Akhlak:
budi pekerti atau kelakuan, dalam bahasa arab; tabiat, perangai, kebiasaan.
Ahmada mubarok mengemukakan 2001; 14 mengemukakan bahwa akhlak adalah keadaaan
batin seseorang yang menjadi seumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu
lahir dengan mudah tanpa memikirkan untung dan rugi.
j.
Budi
pekerti: perilaku, sikap yang dicerminkan oleh perilaku (M. Furqon
Hidayatullah. 2010: 11).
Lingkungan sosial dan
budaya bangsa adalah
Pancasila; jadi pendidikan
budaya dan karakter bangsa haruslah
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan
karakter bangsa adalah
mengembangkan nilai-nilai Pancasila
pada diri peserta didik melalui
pendidikan hati, otak, dan fisik.
Pendidikan karakter adalah
suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan,
dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan YME,
diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi Insan
Kamil (Masnur Muslich.
2011: 84).
Thomas lickona (1991) menyatakan pendidikan karakter by definition
adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi
pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah
laku yang baik. Jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja
keras dan sebagainya. Pengertian itu mirip dengan yang dikemukakan oleh
Aristoteles bahwa karakter itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang
kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku (Ratna Megawangi. 2007: 82).
Sedangkan menurut Zaim Elmubarok (2008:102) Membangun karakter (character
building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa,
sehingga “berbentuk” unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan
orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang
satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan
satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau
“berkarakter” tercela).
pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate
use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja
seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai
sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan
pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind &
Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character
education is the deliberate effort to help people understand, care about, and
act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want
for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is
right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be
right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa
pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu
mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta
didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru
berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai
hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki
esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang
baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria
manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara
yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum
adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai,
yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Dari beberapa pengertian yang
telah dipaparkan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan
karakter adalah sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik
dengan melibatkan seluruh komponen yang ada di sekolah (isi kurikulum, proses
pembelajaran, kualitas hubungan, penanganan mata pelajaran, pelaksanaan
kurikuler, dan etos seluruh lingkungan sekolah) agar mereka memiliki
nilai-nilai karakater itu dalam dirinya dan diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari sehingga mereka bisa menjadi Insan Kamil.
Oleh karena itu pendidikan
karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan
konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun
1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional
Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu
yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua
peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis
merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial
budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada
lambang negara Indonesia.
Dari mana memulai
dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan
secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat
ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai
sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan
yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka
membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang
kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.
Membangun Karakter Peserta Didik Melalui Pendidikan Berkearifan Lokal
Sejarah menunjukkan,
masing-masing etnis dan suku memiliki kearifan lokal sendiri. Misalnya saja
(untuk tidak menyebut yang ada pada seluruh suku dan etnis di Indonesia), suku
Batak kental dengan keterbukaan, Jawa nyaris identik dengan kehalusan, suku
Madura memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan
keuletan. Lebih dari itu, masing-masing memiliki keakraban dan keramahan dengan
lingkungan alam yang mengitari mereka. Kearifan lokal itu tentu tidak muncul
serta-merta, tapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu
mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujiannya dalam sisi ini membuat
kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan
masyarakat. Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai perenial yang
berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya ini. Semua, terlepas dari
perbedaan intensitasnya, mengeram visi terciptanya kehidupan bermartabat,
sejahtera dan damai. Dalam bingkai kearifan lokal ini, masyarakat
bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain.
Masyarakat Indonesia sudah
sepatutnya untuk kembali kepada jati diri mereka melalui pemaknaan kembali dan
rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya mereka. Dalam kerangka itu, upaya yang
perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Sebagai misal,
keterbukaan dikembangkan dan kontekstualisasikan menjadi kejujuran dan seabreg
nilai turunannya yang lain. Kehalusan diformulasi sebagai keramahtamahan
yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi; dan
demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu
dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi
identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat
tertentu. Untuk itu, sebuah ketulusan, memang, perlu dijadikan modal dasar bagi
segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri masing-masing,
dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan
yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai
tingkatan perlu menjadi garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam praksis
konkret untuk memulai. kearifan lokal yang digali, dipoles, dikemas dan
dipelihara dengan baik bisa berfungsi sebagai alternatif pedoman hidup manusia
Indonesia dewasa ini dan dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai baru/asing
agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan
hubungan manusia dengan Sang Khalik, alam sekitar, dan sesamanya (tripita
cipta karana). Dan sebagai bangsa yang besar pemilik dan pewaris sah
kebudayaan yang adiluhung pula, bercermin pada kaca benggala kearifan para
leluhur dapat menolong kita menemukan posisi yang kokoh di arena global ini.
Persoalannya adalah bagaimana
mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun pendidikan karakter di sekolah?
Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang
relevan untuk membangun pendidikan karakter. Hal ini dikarenakan kearifan lokal
di daerah pada gilirannya akan mampu mengantarkan siswa untuk mencintai
daerahnya. Kecintaan siswa pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah.
Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan
warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya
dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan
alam secara bijaksana.
Terkait dengan pelaksanaan
dan penanaman nilai/karakter di sekolah, lingkungan menjadi faktor penting
dalam mengembangakan dan mengintegrasikan budaya karakter tersebut. Masing-masing etnis dan suku memiliki
kearifan lokal sendiri. Sebagai contoh adalah suku Madura memiliki harga diri yang tinggi, suku Batak kental dengan keterbukaan,
Jawa nyaris identik dengan kehalusan, dan etnis Cina terkenal dengan keuletan.
Masing-masing daerah tersebut memiliki keakraban dan keramahan dengan lingkungan alam yang mengitari
mereka. Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta-merta, tapi berproses
panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan
mereka. Budaya di suatu daerah dinilai baik, belum tentu menjadi baik di
daerah lain yang berbeda kebudayaan, adat istiadat, kebiasaan dan cara
pandangnya.
Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk
kembali kepada jati diri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi
nilai-nilai luhur budaya yang telah dibangun oleh leluhur mereka. Dalam kerangka itu, upaya yang perlu
dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Sebagai
masyarakat yang beradab perlu tahu bahwa kita memiliki kekayaan budaya,
terlepas dari perbedaan istilah yang digunakan untuk menyebutnya. Kearifan
lokal budaya itu berserakan dan tersebar luas dalam segala aspek kehidupan
masyarakat. Terutama ditemukan dalam bahasa daerah/ibu. Setiap kelompok
masyarakat memiliki cara yang khas dalam mengungkapkan kandungan kearifan
lokalnya, yang mencerminkan cara pandangnya tentang dunia. Kearifan lokal yang
terkandung dalam bahasa daerah/ibu, memiliki makna yang sangat esinsial pada
penggunaannya. Bahasa yang dituturkan secara lisan dalam bahasa daerah/ibu
berunsur siloka (makna yang tersampaikan/tersirat secara kiasan). Selain itu,
budaya sikap dan perilaku yang dicerminkan pada budaya lokal akan melahirkan
nilai-nilai positif yang sangat perlu dikembangkan, dilaksanakan dan
dilestarikan sebagai kekuatan jati diri.
Suatu misal, keterbukaan
dikembangkan menjadi kejujuran dan segala aspek yang menjadi nilai turunannya yang lain. Kehalusan diformulasi sebagai keramahtamahan
yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi; dan
demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu
dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi
identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat
tertentu.
Ketulusan sebagai
perangkat dan pekerjaan hati perlu
dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui
kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme,
keserakahan, kesombongan, serta
mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit
di berbagai tingkatan perlu menjadi garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam
praksis konkret untuk memulai. Kearifan lokal yang digali, dipoles, dikemas dan
dipelihara dengan baik bisa berfungsi sebagai alternatif pedoman hidup manusia
Indonesia dewasa ini dan dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai baru/asing
agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan
hubungan manusia dengan Tuhan, alam sekitar, dan sesamanya.
Bagaimana mengimplementasikan
kearifan lokal untuk membangun pendidikan karakter di sekolah? Maka
jawabannya adalah perlu adanya revitalisasi budaya lokal (kearifan
lokal) yang relevan untuk membangun pendidikan karakter secara
berkelanjutan. Hal ini diasumsikan
bahwa pendidikan karakter yang berkearifan lokal di daerah pada gilirannya
akan mampu mengantarkan peserta didik untuk mencintai daerahnya. Kecintaan peserta didik pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan
daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh
kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini
kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara
memanfaatkan alam secara bijaksana.
Dalam konteks tersebut di
atas, kearifan lokal menjadi relevan. Anak bangsa di negeri ini sudah
sewajarnya diperkenalkan dengan lingkungan yang paling dekat di desanya,
kecamatan, dan kabupaten, setelah tingkat nasional dan internasional.
Melalui pengenalan lingkungan yang paling kecil, maka anak-anak kita bisa
mencintai desanya. Apabila mereka mencintai desanya mereka baru mau bekerja di
desa dan untuk desanya. Kearifan lokal mempunyai arti sangat penting bagi anak
didik kita. Nilai-nilai kerja keras, pantang mundur, dan tidak kenal menyerah
perlu diajarkan pada anak-anak kita. Dengan demikian, pendidikan karakter
melalui kearifan lokal seharusnya mulai diperkenalkan oleh guru kepada para peserta
didiknya. Semua satuan pendidikan, peserta didiknya yang
memiliki keberagaman ras maupun
agama, dapat menjadi sasaran utama untuk penerapan pendidikan karakter. Proses interaksi yang melibatkan
semua pihak dalam kearifan lokal sama saja mempelajari karakteristik dari
materi yang dikaji sehingga peserta didik secara langsung dapat menggali karakter peristiwa
kelokalan itu. Peserta didik dimatangkan kondisinya untuk menerima,
memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai karakter yang diperolehnya di
sekolah.
Bagaimana dengan eksistensi kearifan lokal? Untuk hal ini perlu
memahami pengertian dan esensi kearifan lokal itu sendiri. Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan
atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal
berupa tradisi, petatah dan semboyan hidup (Pikiran Rakyat, 4 Oktober 2004).
Menurut kamus Inggris-Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom
sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai,
pandangan-pandangan setempat (local)
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Esensi dari kearifan lokal adalah nilai-nilai kebaikan, kebijaksanaan,
kedewasaan memandang segala sesuatu hal dan kemampuan menerjemahkan secara baik
setiap persoalan yang bertumpu pada budaya lokal. Bertolak dari pengertian dan
esensi dari kearifan lokal tersebut, membangun pendidikan karakter disekolah melalui kearifan lokal sangatlah
tepat. Hal ini dikarenakan pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan
yang mengajarkan peserta didik untuk selalu dekat dengan situasi konkret yang mereka hadapi sehari-hari di
lingkungan sekitar. Model pendidikan
berbasis kearifan lokal merupakan sebuah contoh pendidikan yang mempunyai
relevansi tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup, dengan berpijak pada
pemberdayaan keterampilan
serta potensi lokal pada tiap-tiap daerah.
Pendidikan berbasis kearifan
lokal dapat digunakan sebagai media untuk melestarikan potensi dan
kebudayaan masing-masing daerah.
Kearifan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah. Potensi daerah merupakan
potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah tertentu. Para peserta
didik yang datang ke sekolah tidak bisa
diibaratkan sebagai sebuah gelas kosong, yang bisa diisi dengan mudah
oleh ceret-ceret guru yang penuh air. Peserta didik telah memiliki bakat, minat dan kemampuan awal dan sudah membawa nilai-nilai budaya yang diserap
dari lingkungan keluarga dan
masyarakatnya. Dalam konteks ini, guru diharapkan mampu
menyelipkan nila-nilai kearifan lokal mereka dalam proses pembelajaran. Pendidikan
berbasis kearifan lokal tentu akan berhasil apabila guru memahami wawasan
kearifan lokal itu sendiri.
PENUTUP
Membangun pendidikan karakter
di sekolah melalui kearifan lokal mengandung nilai-nilai yang relevan dan
berguna bagi pendidikan. Esensi dari kearifan lokal adalah nilai-nilai
kebaikan, kebijaksanaan, kedewasaan memandang segala sesuatu hal dan kemampuan
menerjemahkan secara baik setiap persoalan yang bertumpu pada budaya lokal. Membangun pendidikan karakter disekolah
melalui kearifan lokal sangatlah tepat. Pendidikan berbasis kearifan lokal
adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu dekat dengan
situasi konkret yang mereka
hadapi sehari-hari di lingkungan sekitar. Model pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah contoh
pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup,
dengan berpijak pada pemberdayaan keterampilan serta potensi lokal pada tiap-tiap daerah. Oleh karena itu
pendidikan karakter yang berkearifan lokal dapat dilakukan dengan merevitalisasi budaya lokal.
Dalam konteks ini, guru diharapkan
mampu menyelipkan nila-nilai
kearifan lokal mereka dalam proses pembelajaran. Pendidikan berbasis kearifan
lokal tentu akan berhasil apabila guru memahami wawasan kearifan lokal itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan
Politik Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang
Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya
Daerah.
http://pangasuhbumi.com/article/20582/pemulihan-lingkungan-dengan-kearifan-lokal.html
http://tal4mbur4ng.blogspot.com/2010/07/kearifan-lokal-guna-pemecahan-masalah.html
http://tal4mbur4ng.blogspot.com/2010/07/kearifan-lokal-guna-pemecahan-masalah.html
Kartodirdjo, Sartono. 1994a. Kebudayaan
Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1994b. Pembangunan
Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta:
Aditya Media.
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu
Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru.
Sedyawati, Edi. 2007. Keindonesiaan
dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta:
Wedatama Widya Sastra.
Susanti, L.R.Retno.2012. Membangun Pendidikan
Karakter Di Sekolah Melalui Kearifan Lokal. Makalah Seminar Kearifan Lokal
Pendidikan Karakter Berwawasan
Sosiokultural (Sociocultural Based Character Education)